Jati diri merupakan suatu hal lengkap tentang diri sehingga menjadi penentu arah kehidupan seseorang, baik dalam sifat, karakter, semangat, jiwa atau spritualnya. Ketika jati diri terbentuk dengan semestinya maka akan terarah dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. sSebaliknya, jika tidak dapat menentukan bahkan tidak mengenal jati diri, sesungguhnya sesorang akan menyesal dan merugi dikemudian hari.
Jati diri paling dasar dibentuk di keluarga karena pendidikan seorang anak bermula dari dalam kandungan sampai menutup mata. Keluarga merupakan tolak ukur dirinya bergaul di tengah-tengah masyarakat. Keluarga adalah tempat memulai tumbuhnya jati diri seorang anak, sampai kelak dirinya mengenal pendidikan di lingkup yang luas yaitu sekolah.
Ada dua faktor yang membentuk jati diri, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu genetik dari keturunan yang diwariskan seorang anak, sedangkan faktor eksternal terdapat di luar dirinya yaitu mencakup sekitar kehidupannya, seperti rumah dan sekolah. Dua faktor ini yang menjadi satupadu dalam perkembangan anak membentuk jati dirinya. Semua jati diri yang melekat karena terbiasa dilakukan sehingga menjadi dasar, mendarah daging. Sehingga kebiasaan yang tercipta nantinya menjadi jati diri seseorang.
Anak bertingkah laku dari apa yang dia terima sejak dini, mulai dari yang masuk pada proses pengaktifan seluruh panca indra. Baik indra penglihatan pendengaran dan terlebih indra perasa, dimana dari keseluruhan saling berkaitan sehingga akan dikelola akal. Tanpa disadari maupun tidak, telah menjadi kebiasaan dan membentuk jati diri pribadi masing-masing anak yang mempengaruhi proses kehidupanya sendiri.
Begitu juga ketika seorang anak duduk di bangku sekolah, sebagai siswa khususnya tingkat sekolah menengah atas jati diri itu harus ada bahkan sudah mengenal, untuk apa sekolah? menjadi siswa itu untuk apa? tujuan menjadi siswa itu apa gunanya? atau hanya sekedar tuntutan orang tua, masyarakat dan rasa malu tak bersekolah, atau bahkan agar tidak malu saat bertemu tetangga. Kita mungkin sering mendengar perkataan secara umum mencari jati diri, apa yang harus dicari lagi kalau kita telah mengenal Tuhan, pencipta alam semesta beserta isinya. Hal inilah yang membuat kita tau esensi hidup, yakni untuk kebaikan seluruh alam sebagai pelestarian dimuka bumi bukan jadi pecundang atau perusak bumi.
Harusnya seorang siswa sudah membentuk atau memperkuat jati dirinya ke arah yang baik. Jika pondasi dasar pendidikannya baik, maka dia akan mampu menemukan jati diri sesungguhnya sehingga potensi yang ada di dirinya akan berkembang pesat dan baik. Sekarang ini pembentukan jati diri anak banyak terpengaruh dengan teknologi yang mana sebagian siswa tidak tepat guna menggunakan teknologi tersebut. Salah satunya penggunaan smartphone (gawai), saat menggunakan gawai siswa merasa hidup itu asik-asik aja tanpa harus ada batasan atau aturan. Hal ini yang sudah dialami para siswa dan menjadi realita di dunia pendidikan. Siswa lebih cendrung menyenangi si kotak yang serba bisa sehingga tanpa disadari siswa mulai kehilangan jati dirinya sebagai siswa. Mulai lupa tujuan sebagai siswa dan tujuan bersekolah, semua tidak bernilai buat mereka. Mereka asik dengan dunia yang tak nyata (fatamorgana), kesenangan sesaat, menjadi pengkhayal lebih menyenangkan daripada melihat kehidupan nyata sesungguhnya.
Terlalu melihat si kotak ini yang informasinya dengan mudah di akses, mereka bisa menjadi apa saja. Artis ganteng Korea, Lee Min Ho misalnya, artis tercantik seperti Kim Jisoo, bahkan menjadi orang terkaya di dunia yakni Elon Musk. Atau apapun bentuk khayalan yang menyenangkan menurut kadar mereka masing-masing. Inilah salah satu bentuk kehilangan jati diri sebagai siswa.
Di sisi lain saat guru sibuk menerangkan di kelas, mereka sibuk mencari peluang atau kesempatan ketika guru tidak fokus memandang ke arah mereka. Dari kebiasaan yang tidak tau waktu dalam penggunaan siswa terhadap gawai tersebuat akan membangun kepribadian siswa menjadi sukar terkendali seakan teman sejati. Bahkan saat diberi perintah untuk menyimpan gawai tersebut para siswa merasa kehilangan. Beginilah jati diri yang ditunjukkan siswa saat ini. Tidak lagi peduli dengan kehilangaan waktu belajar, ilmu yang diajarkan, atau mungkin mereka tidak memiliki kepedulian untuk mewujudkan cita-citanya.
Inilah yang menjadi hambatan terbesar guru jika harus berhadapan dengan siswa yang lebih mengidolakan gawai daripada guru dihadapannya. Maka ada baiknya Kementrian Pendidikan terus memberikan dan membenahi sistem pembelajaran agar lebih menyenangkan baik untuk guru maupun siswa. Perubahan kurikulum yang silih berganti pada dasarnya untuk menemukan jati diri siswa yang saat ini berhadapan dengan era digital. Sehingga mau tidak mau guru harus menyukai si kotak juga agar tidak tertinggal. Untuk menyengimbangi dunia khayal siswa, kita perlu menyadarkan mereka hidup ini nyata dan saat ini ia sebagai siswa bukan seorang artis atau influencer. kenali jati diri sebagai siswa maka akan dapat mengimbangi siapapun yang menjadi idola.
Banyak kasus terjadi di setiap sekolah, misalnya saja terdapat siswa yang tidak di dukung oleh keluarganya untuk melanjutkan sekolah. Karena keluarga merasa saudara kandungnya juga tidak tamat bersekolah. Miris melihat kondisi seperti ini, seharusnya keluarga menjadi tempat pertama yang membangun jati diri anak, dan sekolah menjadi tempat selanjutnya. Ternyata bukan hanya karena gawai siswa kehilangan jati diri, bahkan keluarga juga mampu menghilangkan jati diri.
Kehidupan sekarang ini tak harus selalu bergantung pada gawai yang dimiliki, banyak hal terjadi yang disebabkan benda berbentuk kotak tersebut. Bahkan siswa juga mendapat akibat yang luar biasa karenanya. Tak hanya acuh terhadap pelajaran, mereka juga menjadi mudah untuk melakukan hal kriminal. Ini menjadi PR berat untuk seluruh Bapak/Ibu guru.
Didiklah siswa sebagaimana zamannya agar mereka tidak kehilangan jati diri dengan dasar nilai ber-Tuhan. Gawai bukan menjadi momok tapi sebangai fasiltas mereka untuk mengenal jati diri mereka sebangai siswa. Meski hanya 8 jam bersama mereka tapi itu sangat berarti dibandingkan mereka kehilangan jati diri mereka sebagai siswa.
Ditulis oleh Ummi Nurliati yang merupakan guru Pendidikan Agama Islam SMK Negeri 1 Meranti
KOMENTAR ANDA