Untuk pertama kalinya Pertunjukan Naskah teater Mantra Bah Tuah karya aktor senior Agus Susilo dihadirkan di kalangan publik Sumatera Utara. Pagelaran itu sekaligus merupakan gladi resik dan sumbang saran serta penajaman dari pekerja teater Sumatera Utara yang banyak hadir pada kesempatan itu
Pagelaran itu dilaksanakan pada Minggu, (25/9)di open stage eks Taman Budaya Sumatera Utara jalan Perintis Kemerdekaan, Medan.
Naskah ini akan dibawakan secara resmi di ajang Festival Teater Sumatera di Jakabaring Palembang yang akan digelar mulai 29 September hingga 1 Oktober yang akan mengusung tema "RitualOf Healing"
"Pagelaran ini merupakan pemantapan akhir sekaligus penajaman dan sumbang sarn dari kalangan pekerja teater di sumatera utara," kata Agus Susilo di sela kegiatan.
Naskah Mantra Bah Tuah menurut Agus adalah representasi fakta sejarah mengenai eksistensi Bangsa Aru yang dikenal sebagai pelaut yang pernah merajai lautan dan perdagangan khususnya di pantai Sumatera Timur hingga ke Sumatera Tengah.
"Dalam naskah ini, kami juga membawa narasi reunifikasi antara hulu dan hilir yang diikat oleh mantra atau suara dan bunyi-bunyian. Pendekatan dan representasi fakta sejarah ini kami lakukan dengan mengusung kembali peradaban bahari dan kejayaan sungai-sungai besar yang mengalir menyatukan hulu dan hilir," lanjut Agus.
Mantra Bah Tuah adalah puncak dari kampanye pementasan Teater Rumah Mata membangun konstruksi budaya dan sejarah yang ada di sepanjang perairan pantai timur.
"Ini yang ketujuh dan ini merupakan naskah puncak dari enam naskah sebelumnya yang mengusung tema-tema kesejarahan dan revitalisasi sungai-sungai serta kawasan situs Kota Chinna" kata Agus.
Penggarapan naskah dan proses kekaryaan Mantra bah Tuah ini, kata Agus, cukup serius dan hati-hati. Oleh karena itu,Agus juga banyak berkonsultasi tentang konstruksi sejarah dengan sejarawan PUSIS Icwan Azhari dan pegiat budaya Hujan Tarigan.
"Studi literasinya cukup serius karena banyak melibatkan sejarawan dan pengamat budaya. sedangkan aktornya, sebagai bentuk konsistensi Teater Rumah Mata dalam melahirkan generasi baru insan teater di Sumut, kami melibatkan banyak wajah baru sebagai aktor. hanya ada dua pemain gaek yang terlibat di atas panggung seperti Herawanti dan Ayub," demikian Agus.
Sementara itu di tempat yang sama, pengamat sejarah dan pegiat budaya Hujan Tarigan menjelaskan narasi yang diusung dan bawakan dalam pertunjukan teater kontemporer oleh Rumah Mata bukan hal yang mudah.
"Meracik data, membuat instalasi panggung oleh simbol-simbol yang diwakilkan bambu sebagai properti utama membuat pementasan ini patut diapresiasi. Agus dan Teater Rumah Mata sekali lagi menunjukkan kelasnya," kata Hujan Tarigan.
"Hanya saja perlu dipertimbangkan penonton yang tak terbiasa dengan karya-karya Agus, apakah mereka dapat menangkap esensi dan data yang sudah dikelola sedemikian rupa itu secara jelas dan tidak mengalami distorsi. Apakah itu pembiasan makna, pembiasan sejarah dan budaya atau bahkan pembiasan di segala macam lini termasuk orientasi politik," kata Hujan.
Dilanjutkan Hujan, bukan upaya yang sama sekali mudah untuk bisa menghadirkan masa lampau dengan cara pandang masa lampau ke atas panggung kontemporer. Pasalnya dibutuhkan imajinasi yang hari ini, sudah semakin sulit di tengah realita kehidupan sosial.
"Agus dan Teater Rumah Mata layak diapresiasi karena sudah berani masuk ke wilayah yang hari ini, oleh sebagian besar masyarakat, bukan tema populer dan dan banyak diperbincangkan. Bermain-main dengan imajinasi sudah menjadi tabu hari ini. Selalu ada yang baru dari masa lalu hari ini sudah masuk katageri cocokologi," demikian Hujan.
KOMENTAR ANDA