Pengembangan Danau Toba sebagai destinasi superptiortas yang dicanangkan Presiden Joko Widodo terus menjadi sorotan. Proyek pembangunan berbagai infrastruktur pun terus dikebut. Sejumlah proyek pembangunan diprediksi rampung tahun ini.
Dana yang dikucurkan untuk Danau Toba juga tak main-main. Jumlahnya mencapai Rp4,04 triliun. Dari total itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang paling banyak menggelontorkan anggaran. Mencapai Rp2, 52 Triliun. Disusul Kementerian perhubungan 1,06 Triliun. Ditambah dengan Kementerian Pariwisata dan kementerian terkait lainnya.
Gelontoran dana ini pun berpotensi memancing kecemburuan daerah lain. Khususnya yang juga punya sektor pariwisata untuk mendatangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Namun anggaran ini tidak akan maksimal serapannya jika setiap stakeholder terkait tidak bahu-membahu membangun Danau Toba. Peran pemerintah daerah di kawasan Danau Toba juga sangat penting keterlibatannya supaya pembangunan semakin maksimal.
Keterlibatan pemerintah juga semakin memantapkan destinasi superprioritas yang disematkan ke Danau Toba.
Pengamat Pariwisata Sumut Wahyu A Pratomo mengatakan, pemerintah harus bisa menyelesaikan berbagai polemik yang dianggap menghambat pembangunan. Misalnya soal pembebasan lahan masyarakat yang seakan menjadi maslah klasik dalam pembangunan.
Dia pun menganggap pembangunan Danau Toba terkendala serapan anggaran.
“Minimnya serapan anggaran karena permasalahan dasar dalam pengembangan kawasan pariwisata masih belum dapat berjalan dengan baik, yaitu masalah lahan,” ungkap Wahyu.
Wahyu yang juga anggota Kelompok Kerja Pariwisata Kawasan Dana Toba dan Pariwisata Berkelanjutan (KK-PKDT & PB) Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan, Pemerintah Daerah se-kawasan Danau Toba harusnya bisa menuntaskan permasalahan pembebasan lahan ini.
“Kewenangan dalam pembebasan lahan berada pada Pemerintah daerah. Oleh karena itu, bagaimana strategi kepala daerah di kawasan Danau Toba bisa menyelesaikan masalah ini. Apalagi di sekitar kawasan Danau Toba banyak lahan yang memiliki status tanah adat,” sebut Wahyu.
Dengan itu, kata Wahtu, perlu strategi komunikasi yang baik antara pimpinan daerah dengan masyarakat. Dari sudut pandang makrodijelaskannya, bila Pemerintah Pusat tidak melanjutkan status Superprioritas Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di Danau Toba, tentunya kurang baik.
“Karena pengeluaran pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana dalam jumlah yang besar tidak terserap dan mengurangi optimalisasi pertumbuhan ekonomi Sumut,” tutur Wahyu.
Namun dari sudut pandang mikro, kata dia, masyarakat yang mempertahankan tanah adat menyangkut perlindungan hak atas lahan yang dimiliki secara turun temurun serta keberlangsungan mata pencaharian, dan lain-lain.
“Untuk itu, strategi komunikasi dan partisipasi masyarakat harusnya dilakukan sejak awal dan tidak langsung membuat sebuah aksi yang dapat memunculkan konflik,” sebut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) USU itu.
Oleh karena itu, status superprioritas KSPN dengan jangka waktu tertentu, rasanya tidak perlu terlalu dipaksakan. Mungkin masyarakat masih merasa belum dikomunikasikan secara baik. Pimpinan daerah harus lebih intens berdialog terkait solusi bersama persoalan lahan.
“Mereka yang harus dapat berdiskusi dengan masyarakat agar lahannya rela dibeli. Apakah dengan harga kesepakatan sesuai dengan harga pasar, atau dengan cara berdialog dengan tokoh adat/masyarakat,” ujar Wahyu.
Kemudian, dia menambahkan, pemerintah harus bekerja sama membangun sebuah kawasan pariwisata sehingga masyarakat mendapat penghasilan. Atau skema lainnya yang berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat
“Misalnya, pemda melalui BUMD membeli lahan rakyat lalu bekerja sama dengan investor untuk membangun kawasan wisata. Jadi ada partisipasi untuk memiliki. Masyarakat menjaga tempat wisata sebagai sumber penerimaannya dan daerah juga memiliki PAD dari tempat-tempat wisata yang ada,” pungkasnya.
KOMENTAR ANDA