post image
Foto Dr. H. M. Zahrin Piliang, M.Si
KOMENTAR

Tidak terasa,hari ini 5 Februari 2020 HMI memasuki usia ke 73 tahun. Jika dianalogikan dengan manusia, sesungguhnya HMI sudah memasuki masa sepuh, yang daya tahan dan daya pikirnya juga megalami sepuh alias menurun, paling tidak, tidak seperi usianya di bawah 60 tahun. Memang ada pengecualian, bagi seorang Mahathir,di usianya yang ke 93 masih menduduki jabatan Perdana Menteri, sebuah jabatan politik tertinggi dalam sistem pemerintahan parlementer. Dan jabatan PM itu merupakan kali kedua bagi Mahthir, setelah sebelumnya juga menduduki jabatan yang sama sekitar lebih 20 tahun.

Tentu berbeda dengan HMI.Ia tidak pernah berada di puncak kekuasaan politik di negeri ini, negeri yang lebih tua dua tahun darinya. HMI, memang pernah mencatatkan sejarahnya, sebagai organisasi mahasiswa yang menakutkan bagi Partai Komunis Indonesia (PKI), karena itulah PKI minta HMI dibubarkan.Tak tanggung-tanggung, PKI bahkan mencap CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia), organisasi mahasiswa underbouw PKI, sebagai banci, jika tak mampu menghentikan gerak langkah HMI.Aidit menyuruh CGMI pakai sarung apabila laju HMI tak terbendung.

Di masa Orde Lama, begitu tangguh, dan disegani oleh kawan dan lawan.Salah satu faktor yang membuat HMI demikian karena kepemimpinan HMI di tengah-tengah kehidupan kemahasiswaan, baik secara individual maupun kolektif kelembagaan memiliki kualitas intelektual yang mumpuni, dan menjadi magnet yang mampu membuat orang tertarik padanya.Ketangguhan itu bahkan sampai di awal-awal pemerintahan Orde Baru, ketika HMI disebut-sebut sebagai salah satu organisasi mahasiswa Islam pembaharu, sekaligus sebagai pemasok sejumlah tokoh di pemerintahan, politik, kampus, dan kemasyarakatan. Tulisan ini akan mencoba menyoroti dimensi Kepemimpinan HMI yang kini sedang mengalami krisis yang relatif akut.

Benturan Tiga Gelombang

Merujuk pada Futurulog Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave,  peradaban manusia dibagi ke dalam 3 (tiga) gelombang.Gelombang  pertama (800 SM- 1500 M).Pada masa ini manusia menemukan dan menerapkan teknologi pertanian, yang ditandai oleh kebiasaan manusia yang berpindah-pindah (karena mata pencaharian mereka berburu dan meramu/meracik-nomaden) beralih menjadi menetap. Sistem ekonominya subsisten, yaitu suatu kehidupan ekonomi yang ditandai oleh mata pencaharian tradisional yang bergantung pada alam (Kontjariningrat, Pengantar  Ilmu Antropologi, Jakarta : Aksara Baru, 1986, hal 268-270). Gelombang kedua (1500 -1970).Pada gelombang ini ditandai oleh masyarakat industri, “manusia ekonomis” yang rakus, yang baru lahir dari renaissance (berakhirnya masa gelap di Eropa); munculnya pemikiran dari Adam Smith dalam The Wealth of Nations, dan Charles Darwin dalam The Origin of Species. Terjadi  (1) imperialisme dan kolonialisme, (2) berbudaya produk massa, pendidikan massa, komunikasi masssa, dan media massa, (3) pertumbuhan ilmu dan teknologi yang pesat, (4) urbanisasi dan pembangunan di kota-kota besar, penggunaan energi yang bersifat massif dan tidak dapat diperbarui, dan polusi yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

Gelombang ketiga (1970-2000).Toffler menyebut masyarakat ini sebagai masyarakat informasi dengan ciri-ciri (1) kelangkaan bahan bakar fossil, kembali ke energi yang dapat diperbarui, (2) proses produksi yang cenderung menjadi produksi massal dan terkonsentrasi, (3) terjadi deurbanisasi dan globalisasi karena kemajuan teknologi komunikasi dan informasi (4) peradaban gelombang ketiga merupakan sintesis dari gelombang pertama (tesis) dan gelombang kedua (antitesis). Gelombang ketiga ini juga disebut sebagai Knowledge Age, karena menggunakan satelit komunikasi, kabel optik dalam jaringan internet, masyarakat mampu berkomunikasi secara online, dst.

Toffler mengemukakan bahwa perang saudara di Amerika sesungguhnya adalah benturan antara dua gelombang : gelombang pertama (masyarakat pertanian, cenderung tertinggal), yang diwakili selatan, dan gelombang kedua (masyarakat industri, terindikasi lebih maju) yang diwakili utara. Pesannya, kata Cak Nur, setiap benturan antara gelombang-gelombang akan menimbulkan krisis yang tidak kecil, bahkan cenderung parah, karena dapat berwujud menjadi perang saudara, walau juga dapat terbatas hanya pada krisis-krisis sosial, budaya, politik, bahkan psikologis. Tetapi, sekalipun terbatas, tetapi dampaknya cukup parah.(Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hal. Xv-xvi).

Diingatkan oleh Toffler, betapapun kecilnya krisis-krisis itu tidak boleh diremehkan persoalan dan akibatnya.Karena itu dalam membuat suatu keputusan yang terkait pada masyarakat baik langsung mamupun tidak langsung harus memperhitungkan persoalan dan dampak yang ditimbulkan oleh benturan-benturn tersebut. Dari kerangka penglihatan itu, Cak Nur berpandangan bahwa krisis yang dihadapi Indonesia saat ini sangat besar, kompleks, dan bisa berdampak  pada kemanusiaan. Alasannya, karena bangsa Indonesia sedang mengalami proses industrialisasi, yang dengan sendirinya Indonesia sedang mengalami perbenturan antara gelombang pertama dan gelombang kedua seperti di Amerika abad yang lalu. Dampaknya, di satu sisi ada masyarakat yang relatif lebih maju dengan pendapatan yang tinggi, di sisi lain terdapat masyarakat yang masih terbelakang yang pendapatannya sangat rendah.

Menurut Cak Nur, krisis yang diakbatkannya terlihat sehari-hari dengan kasat mata dalam bentuk gejala-gejala sosial-budaya yang negatif, seperti dislokasi, deprivasi, ketercabutan akar (budaya), dll. Cak Nur berpendapat, sekalipun benturan itu tidak menimbulkan perang saudara, namun krisis di Indonesia jauh lebih gawat daripada di Amerika.Karena sekarang dunia sedang memasuki gelombang ketiga (abad informatika), maka yang sedang berlangsung di Indonesia sesungguhnya tidak hanya benturan dua gelombang, malainkan tiga gelombang sekaligus.  Dan jika kita masukkan saudara kita yang belum mengenal pertanian maju, maka yang sebenarnya terjadi adalah perbenturan empat gelombang, yaitu sejak dari “pra-gelombang,” sampai ke gelombang ketiga Nurcholish Madjid, 1992 :xvi)

Menjauh dari Cita-Cita Keadilan

Benturan gelombang yang kita diskusikan di atas, implikasinya kini terlihat dengan nyata pada makin jauhnya Indonesia dari cita-cita keadilan-sosial seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Perekonomian Indonesia kini sepenuhnya sudah bercorak kapitalisme-Liberal  di mana peran Multi National Corporation (MNC) sangat dominan, menguasai dari hulu hingga hilir. Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, secara perlahan tapi pasti sudah juga dirambah oleh MNC. Sudah bukan rahasia lagi, sejumlah BUMN strategis kini diambang kebangkrutan, sebutlah Krakatau Steel, saat yang sama pabrik baja kelas raksasa dari China  sedang dibangun di Indonesia. Demikian pula dengan maskapai Garuda yang ternyata dililit sejumlah besar hutang dan siap diterkam oleh perusahaan penerbangan dari negeri luar. Sejak Orde Lama, Orde baru hingga Orde Reformasi ini, pembangunan Indonesia memang sangat bergantung pada hutang (Ahmad Erani Yustika (2005 : 170-171).

Pasal 33 UUD 1945 yang menyebut cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara ternyata makin hari makin  mengalami kebangkrutan.Koperasi yang seharus menjadi soko guru perekonomian nasional kini hanya tinggal kenangan. BUMN sebagai state entreprice kini juga sedang dihadapkan pada beban pembiayaan infrastruktur yang tak mampu dipikulnya, dan akibatnya harus berhutang pada asing. Sementara nilai tukar rupiah terhadap  $US terus merosot. Sementara para pedagang kecil dan mikro, tak pernah beranjak dari problem klasik, permodalan, manajemen, dan distribusi.Ini terjadi karena bandul politik ekonomi Indonesia memang dirancang menuju ekonomi kapitalis-liberal.

Di lain pihak, bisnis online yang kini merebak sepenuhnya juga dikuasai asing. Sejumlah unicorn yang beroperasi di Indonesia ternyata berafiliasi dengan asing, sebut Alibaba, Grab, dan sebagainya. Kini masyarakat  baik perkotaan maupun pedesaan sudah sangat akrab belanja online. Tanpa disadari kondisi ini telah memotong mata rantai distribusi barang dan jasa yang sebagian daripadanya digeluti oleh para pedagang kecil (pribumi) yang sebelumnya mereka harus membuat pertahanan atas serbuan mini market yang kini sudah masuk ke desa.Sesorang kini bisa memesan barang dari China, Hong Kong, Korea, dll secara langsung melalui online. Bayangkan, berapa jumlah uang rakyat Indonesia disedot oleh bangsa lain tanpa kehadiran mereka secara fisik di Indonesia.

Kepemimpinan HMI Mengalami Krisis

Telah dikemukakan sekilas tentang dampak benturan yang melanda Indonesia, terutama dari sisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik.Sangat jelas terasa, kita mengalami shock culture dan menjadi backyard dari perkampungan global ini.Kini kita makin terasing dengan budaya kita sendiri.Demokrasi yang kita cita-citakan semakin memperlihatkan corak liberal-kapitalistiknya.Perhatikan pula kalangan milenial di café-café.Apa yang mereka lakukan? Mereka sibuk bermain mobile legend.Bagaimana dengan mahasiswa? Tak jauh beda dengan saudara mereka yang berada di café-café tersebut. Aspek kepemimpinan mahasiswa kini sepertinya mengalami degradasi yang semakin menurunkan kualitasnya sebagai pemimpin yang autentik, yang bersumber dari proses perkaderan yang terorganisir dengan baik.

Memperhatikan perkembangan bangsa kita akhir-akhir ini, saya teringat pada pidato perpisahan yang disampaikan Cak Nur di Gedung Arsip Nasional pada 15 Agustus 2015 lalu.Cak Nur membuka pembicaraan dengan ujaran “menyelematkan komitmen nasional”, suatu komitmen yang telah dirunut founding fathers. Menurut Cak Nur, komitmen nasional republik adalah mendirikan Indonesia modern, yang berdiri di atas tiga tiang pancang utama, yaitu keadilan, keterbukaan, dan demokrasi (bukan 4 pilar kebangsaan sebagaimana yang diteriakkan sekelompok rezim yang picik). Mengapa keadilan?Karena paham ini menempatkan pandangan kesamaan antarmanusia. Itu bermakna tidak ada perbedaan di antara warga negara berdasar alasan apa pun. Cak Nur berpendapat, keadilan memerlukan sikap (a) egaliterianisme, dan (b) kesalingkepercayaan antaranggota masyarakat.

Menurut Cak Nur, dari aspek keadilan ini melahirkan semangat keterbukaan. Semangat keterbukaan ini merupakan kelanjutan dari keimanan manusia pada Allah (implikasi beriman pada Allah adalah rasa aman dan kesadaran mengemban amanah ilahi).Kesadaran pada keimanan ini (yang berarti menghadirkan Tuhan pada setiap saat dalam hidup kita – omni present) menumbuhkan saling menghargai dan menghormati, berbentuk hubungan sosial yang saling mengingatkan tentang apa yang benar, tanpa hendak memaksakan pendirian sendiri. Sikap terbuka itu (diiringi menghargai keaslian pikiran dan pendapat orang lain) menjadi landasan utama masyarakat yang demokratis. Karena itu, seorang yang beriman (dengan paham monotheisme yang radikal itu), tidak akan pernah tunduk pada sikap-sikap politik yang tiranik (tughyan). Karena dalam sistem ini, kebebasan manusia, yang melahirkan kekritisan pada dirinya akan terbungkam.

Jika mengikuti perjalanan sejarah kepemimpinan HMI, dari periode ke periode, dapat dipastikan, HMI baik secara institusional, maupun dalam kapasitas personal pemimpinnya, selalu bersikap kritis pada situasi Indonesia yang sedang dilalui.Sikap kritis pemimpin HMI itu adalah sesuatu yang authentic dari sejarah kepemimpinan HMI, karena memang perkaderan HMI menempa para anggotanya untuk menjadi insan akademis, independen, dan konsisten pada perjuangan kebenaran.Sikap kritis itu bukan dibuat-buat, bukan pula karena setting dari kekuatan tertentu, itu genuine HMI.Sikap kritis HMI itu adalah wujud sikap politik HMI yang independen, dan yang hanya tunduk pada kebenaran, dari siapapun kebenaran itu datang.

Namun setelah masa reformasi ini sikap dan kapasitas kepemimpinan itu mengalami penurunan yang relatif akut.Hal ini misalnya ditandai oleh ketidakmampuan pemimpin HMI mengorganisir Kongres, Musda Badko maupun Konferensi Cabang tepat sesuai jadual yang direncanakan.Yang terjadi justru sebaliknya, Kongres, Musda, dan Konferensi, bahkan sampai pada tingkat Rapat Komisariat (RAK) bisa berbulan-bulan tak selesai.Kongres HMI adalah Kongres trlama di dunia.Ketidakmampuan ini bukan karena kekurangan logistik atau finansial, melainkan tarik menarik kepentingan politik praktis yang sangat pragmatis, di antaranya menyangkut akomodasi dan transportasi pulang-pergi ke dan dari arena Kongres untuk kembali ke daerah asal.Anak-anak HMI kini lebih banyak menjadi pengrajin politik ketimbang penggagas pemikiran alternatif yang menawarkan kepemimpin sejati.

Rentetan dari ketidakmampuan ini, telah menggiring para pemimpin HMI mulai dari tingkat Pengurus Besar, Badko, dan Cabang, dalam dua dekade terakhir ini, bermain-main dengan kekuasaan.Potret terkini dari krisis kepemimpinan tersebut terlihat dengan nyata ketika Pemilihan Presiden 2019 lalu. Dengan tanpa malu-malu paraelit HMI dan dengan penuh senyum ria berkunjung ke istana menghadap Presiden. Setelah itu, sesuai tingkatannya, para pemimpin Badko atau Cabang begitu akrab dengan penguasa sipil maupun di daerah. Potret ini oleh sementara kalangan internal HMI disebut sebagai buah dari sikap politik seniornya baik yang tergabung secara institusional di tubuh KAHMI maupun dalam kapasitas individual, yang tak lagi memperlihatkan sikap kritisnya sebagai kelompok intelektual pada kekuasaan demi jabatan oknum-oknum alumni HMI itu.

Lebih menyedihkan lagi, ada di antara oknum-oknum pengurus KAHMI yang terlalu vulgar menjilat pada kekuasaan, misalnya melalui narasi politik yang tak sedikit pun mencerminkan pembelaanya terhadap umat Islam yang terus menerus disudutkan dengan ungkapan radikal, anti NKRI, intoleran, dsb, bahkan sampai pada pernyataan seorang yang pernah menjadi Kordinator Presidium MN KAHMI :  haram hukumnya mencontoh pemerintahan Rasulullah Muhammad SAW. Ada lagi pernyataan yang menginginkan jabatan Presiden RI tiga periode dari seorang petinggi MN KAHMI juga, yang kini sedang menduduki jabatan politis tertinggi di MPR.Tidak hanya itu. Sikap para alumni HMI pun hampir tak pernah kedengaran jika menyangkut nasib umat Islam, seperti pembubaran HTI, stigmatisasi pada FPI, kriminalisasi atas sejumlah ulama, termasuk misalnya lemahnya statement HMI atas perkembangan komunis yang disinyalir semakin menguat di jagad politik dan kekuasaan Indonesia. Bahkan ada sejumlah alumni HMI yang begitu lantang menghadapi PKI belakangan ini, yang kemudian dibuihkan oleh rezim ke dalam penjara, tak sedikit pun KAHMI memberi pembelaan kepada mereka.Berbanding terbalik dengan sikap HMI dan alumninya saat menghadapi PKI sebelum Orde Baru.

Penutup

Kini HMI benar-benar dihadapkan pada krisis kepemimpinan yang akut. Krisis ini, jika tidak segera diatasi, akan menempatkan HMI dalam  daftar organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan kaleng-kaleng, yangtak lagi mampu menjadi magnet bagi mahasiswa dan dunia intelektual. Kelak pun alumninya akan menjadi alumni kaleng-kaleng pula. Jadi, antara HMI dan KAHMI kini setali tiga uang, dalam arti sudah kehilangan daya kritis dan independensinya pada kekuasaan.

Tetapi, jika HMI berani memperbaiki manajemen organisasinya, terutama pelaksanaan perkaderannya dikelola sebagaimana tahun-tahun sebelum reformasi, maka kepemimpinan yang kaleng-kaleng itu In Syaa Allah akan bisa diatasi. Tetapi jika perkaderan HMI membiarkan pelaksanaan perkaderannya seperti temu ramah, reuni-an, atau paling tinggi seperti kuliah umum di kampus yang disampaikan oleh seorang pejabat politik pemerintahan, alamat krisis kepemipinan itu akan berlanjut. Jika itu yang terjadi, maka keberadaan HMI seprti ketiadaannya, wujudihi ka’adamihi (Wallahu a’lam bi al-shawab).

Dr. H. M. Zahrin Piliang, M.Si
Ketua Umum HMI Cabang Medan 1983-1984

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini