Di tengah kebuntuan kekaryaan sastra yang melilit generasi milenial, sosok Molly Aevrille Santana menjadi sihir yang bersinar.
“Sulit membayangkan seorang remaja hari ini yang menulis kumpulan puisi dengan konsisten mempertahankan gaya. Apalagi gaya dan diksinya tidak mudah dipahami generasi milenial,” kata Juhendri Chaniago, sastrawan Sumut ketika membicarakan karya Molly, siswa kelas X SMA di Binjai dalam acara bedah buku “Mawar Pukul Enam” di Degil House, Minggu (2/2).
Menurut Juhendri, sihir Molly dalam buku antologi puisinya itu secara awam tidak mudah dicerna karena memamerkan banyak simbol.
“Ini tentunya karena bacaan Molly yang di luar kebiasaan anak-anak seusianya. Seakan menjadi sihir dan wajar bila melahirkan anggapan, bahwa Molly adalah orang tua yang terperangkap di tubuh anak remaja,” terang Juhendri.
“Mawar Pukul Enam” sendiri menurut Juhendri adalah metafor yang memiliki tafsir, yang hanya bisa dibaca apabila membaca simbol-simbol lain yang dituliskan Molly lewat 77 puisi.
“Sepintas antara puisi-puisi yang ditulis Molly tidak berhubungan. Tapi bila dicermati, ada benang merah serta tafsir yang utuh yang ingin disampaikan Molly lewat Mawar Pukul Enam,” lanjut Juhendri.
“Ini pencapaian yang luar biasa untuk remaja seusia Molly, sekaligus meyakinkan kita bahwa, kekaryaan dan keberhasilan pencapaian tidak bisa diukur dengan usia,” sambung Juhendri.
Mawar Pukul Enam di terbitkan oleh KBKC, sebuah komunitas literasi di Binjai bekerjasama dengan Booknesia, penerbitan buku RMOL Network pada 2019 lalu. Molly, siswa yang kini duduk di kelas X ini aktif dan menjadikan Komunitas Baca Kota Cerdas (KBKC) sebagai salah satu tempat dimana dia mengasah kemampuannya dalam menulis.
“Dalam usianya, Molly menjadi pemerhati sosial. Dan murung dengan gejala sosial yang dialaminya. Tema kemanusiaan yang diusungnya kental, dihadirkan melalui simbolisme, puisi cintakah, pemberontakan kah. Ke depan, Molly akan semakin baik. Bila terus mengasah kemampuannya,” demikian Juhendri.
KOMENTAR ANDA