post image
KOMENTAR

Beberapa tahun terakhir, konsep inklusivitas semakin menguat dan dianggap lebih mewakili generasi muda dan milenial saat ini. Secara umum, inklusi merujuk kepada keadilan dalam mengakses atau memperoleh kesempatan sama dalam memperoleh pendidikan dan bekerja bagi setiap warga masyarakat yang mempunyai latar belakang berbeda. Inklusivitas mengajarkan sikap positif, empati – atau inklusif terhadap orang lain tanpa memandang latar belakang, gender, dan perbedaan lainnya.

Bahasan tersebut tertuang dalam diskusi panel bertema “Creating Inclusive Generation” pada ajang Indonesian Women’s Forum (IWF) 2019 hari kedua yang menghadirkan para wanita pembicara dari berbagai latar industri.

Elin Waty, Presiden Direktur Sun Life Indonesia, menjadi sosok yang tepat menggambarkan inklusivitas. Wanita ini berhasil menduduki posisi puncak yang selama ini masih didominasi laki-laki. Elin membuktikan bahwa perusahaan yang menggunakan konsep inklusivitas akan menempatkan hak wanita sama dengan laki-laki. Elin mengawali karier di bidang asuransi dari tingkat terbawah. Untuk sampai di posisinya saat ini membutuhkan waktu 20 tahun. Kuncinya adalah bekerja keras.

Sebagai pemimpin perempuan yang harus membawahi ribuan karyawan tentunya tidak mudah. “Di dunia kerja saya menerapkan prinsip diversity. Sun Life tidak mengenal diskriminasi. Semua orang memiliki hak yang sama. Saya ingin menekankan bahwa dengan bekerja keras maka perempuan pun bisa mencapai posisi yang setara, bahkan lebih tinggi dari laki-laki,” jelas Elin.

Menggeluti karir yang didominasi kaum pria juga dijalani Dr. Aretha Aprilia, ST, MSc, PhD, seorang ahli teknik lingkungan dan energi. Bagi Aretha, keluarga memegang peran penting untuk membentuknya berpikiran terbuka dan out of the box. “Wanita mempunyai unique selling points yang tidak dimiliki laki-laki. Kita diberi kesempatan melahirkan dan mengasuh anak sekaligus merintis karier. Artinya, semua wanita umumnya bisa multitasking,” jelas Aretha.

Sempat hidup di luar negeri, Aretha mengaku awalnya menghadapi stigma. Terlebih karena ia seorang wanita, dari Indonesia, dan berhijab. Tetapi semua hilang saat ia membuktikan diri bahwa cara berpikir jauh lebih penting ketimbang penampilan. Kesempatan menjalani pendidikan dan bekerja di luar negeri selama 10 tahun semakin membuka wawasannya tentang inklusivitas. Aretha kini mulai mengaplikasikan nilai inklusivitas berbekal pengalamannya menjadi minoritas saat tinggal di negara lain. Aretha menuangkannya ke dalam buku Women at Work, berisi pengalaman dan saran menghadapi kolega laki-laki di dunia kerja.

Esti Amanda Bowo, S.Psi, praktisi pendidikan inklusif, dan pendiri sekolah menengah Garuda Cendekia membagikan tips bagaimana mendidik anak yang sadar inklusivitas.

“Selama ini sistem pendidikan di Indonesia diukur dari nilai, dan banyak sekali anak yang tidak menyesuaikan. Kebetulan anak saya yang pertama menyandang disabilitas, dan saya sempat merasakan kesulitan mencari sekolah,” ujar Amanda.

Menurut sarjana psikologi ini, semua anak dilahirkan dalam kondisi murni. Bagaimana ia menjadi anak yang eksklusif atau inklusif, sangat tergantung pada pendidikan orang tua dan lingkungannya.

“Banyak alat untuk pembelajaran inklusivitas. Nilai-nilai inklusivitas hendaknya ditanamkan sejak kecil. Kita bangsa Indonesia mempunyai instrumen paling awal untuk mengenalkan anak pada inklusivitas, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Orang tua perlu mengajarkan kesetaraan gender, menumbuhkan empati pada teman yang berbeda tingkat ekonomi, tingkat kecerdasan, dan mengenalkan anak dengan berbagai suku, ras, dan agama,” jelas Amanda. [dar]

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Peristiwa