Kasus korupsi proyek pengadaan kartu identitas elektronik (e-KTP) baru menjerat dua mantan petinggi Kementerian Dalam Negeri sebagai terdakwa. Yakni mantan Dirjen Kependudukan Irman dan mantan Direktur Catatan Sipil Sugiharto.
Padahal, setidaknya lebih dari 30 pejabat pemerintah maupun DPR RI yang diduga terlibat telah mengembalikan uang terkait proyek itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Maruarar Siahaan menduga hal itu dikarenakan KPK tidak memiliki bukti cukup untuk menyeret pihak-pihak lain ke meja hijau.
"Ada orang yang sudah mengembalikan tapi tidak ikut bersama-sama (dibawa ke pengadilan). Untuk dimasukkan ke dalam dakwaan, saya pikir strategi yang dipakai biasanya adalah bahwa jikalau mereka kekurangan bukti, saya kuatir ini," jelasnya dalam diskusi 'Perang Politik E-KTP' di Cikini, Jakarta (Sabtu, 18/3).
Menurut Maruarar, untuk menjerat orang lain, KPK sengaja menunggu berita acara dari keterangan Irman dan Sugiharto maupun saksi lain sebagai alat bukti yang sah. Keterangan terdakwa ataupun saksi di pengadilan dapat dijadikan sebagai alat bukti, pasalnya sebelumnya mereka diambil sumpahnya.
Dia pun mempertegas dugaan bahwa KPK kekurangan alat bukti, lantaran hanya menyeret dua orang sebagai terdakwa ke pengadilan. Padahal begitu banyak yang mengembalikan uang haram itu. Dalam undang-undang, mengembalikan uang hasil korupsi sama sekali tidak menghapus tindak pidana yang dilakukan.
"Pengembalian itu kan tidak menghapuskan tindak pidana. Jaksa dia memakai strategi saksi mahkota. Saksi mahkota itu dipecah supaya bisa dijadikan sebagai alat bukti untuk menjerat yang lain. Saya juga begitu, mudah-mudahan saya tidak benar," pungkas Maruarar.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA