Satu di antara sekian banyak permasalahan yang dihadapi bangsa, negara dan rakyat Indonesia adalah apa yang disebut sebagai kesenjangan sosial. The South China Morning
Post edisi 23 Februari 2017 mengutip berita Agence France-Presse yang secara profokatif mengungkapkan data Oxfam bahwa empat warga terkaya Indonesia masa kini memiliki kekayaan lebih besar ketimbang total kekayaan yang dimiliki 100 juta rakyat termiskin di Indonesia masa kini. Terlepas dari niatan komparasi dramatis itu , memang dapat disimpulkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia masa kini masih tertinggal dalam laju perkembangan ekonomi. Indonesia memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang berhasil mengurangi jumlah rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan namun kesenjangan antara kemakmuran mereka yang kaya dengan yang miskin makin melebar dengan angka pelebaran terbesar di kawasan Asia Tenggara selama 20 tahun terakhir.
Dikuatirkan apabila kesenjangan sosial terus melebar maka keresahan sosial akan akumulatif yang rawan meledakkan konflik sosial yang rawan memicu huruhara kekerasan sosial seperti yang telah terbukti terjadi di Indonesia pada tahun 1965 dan 1998.
Memang sejarah peradaban umat manusia telah membuktikan bahwa masalah kesenjangan sosial senantiasa potensial memicu pertumpahan darah skala mengerikan seperti telah terbukti di Perancis, Rusia, China dan akhir-akhir ini di Mesir, Libya, Irak, Yemen, Suriah. Peristiwa 411 dan 212 yang syukur-alhamdullilah masih terjadi secara tertib, aman dan damai sebenarnya merupakan indikasi bahwa suasana kesenjangan sosial sudah mulai mempengaruhi ketenteraman sosial. Maka hasil riset Oxfam tentang kesenjangan sosial di Indonesia yang diungkap oleh kantor berita Agence France Presse kemudian oleh The South China Morning Post diangkat oleh Prof A. Dahana ke Institut Peradaban prakarsa Prof Salim Said sebagai bahan diskusi para cendekiawan peduli Indonesia . Secara khusus, perhatian saya tertuju ke komentar Prof. Dr. Anwar Nasution yang menyatakan bahwa kesenjangan sosial makin parah di Indonesia merupakan dampak dari tidak jalannya sistem pajak yang memangkas pendapatan orang kaya dan membantu orang miskin. Kesenjangan semakin melebar dengan adanya amnesti pajak. Mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Ketua BPK menyarankan agar para ulama Islam mengajarkan apa yang dilakukan oleh Khalifah Abubakar untuk menanggulangi kesenjangan sosial .
Dalam berbaik hati menjawab pertanyaan saya mengenai apa yang dilakukan oleh Khalifah Abubakar, Prof Anwar Nasution menjelaskan bahwa yang pertama kali dilakukan oleh Abubakar setelah diangkat menjadi Khalifah adalah memerangi bukan orang kafir namun umat Islam yang ingkar membayar zakat . Zakat merupakan pajak wajib bagi pemeluk agama Islam yang jelas diatur sumbernya atau objek yang dipajaki, penggunaannya, penyimpanan serta biaya pemungutannya. Zakat itu merupakan salah satu landasan agama Islam selain mengucapkan Syahadat, Shalat, Puasa dan Ibadah Haji bagi yang mampu secara fisik dan ekonomi. Melalui pembayaran zakat terjadilah pemerataan dengan mengurangi pendapatan orang kaya dan pengeluaran negara ditujukan untuk membantu orang miskin.
Berdasar pencerahan Prof. Anwar Nasution tentang apa yang dilakukan oleh Khalifah Abubakar, adalah tidak keliru apabila sebagai upaya menanggulangi masalah kesenjangan sosial, para pemangku kebijakan ekonomi Indonesia di bawah pimpinan presiden Jokowi berkenan lebih seksama mendalam dalam mendalami kedalaman inti makna adiluhur yang terkandung di dalam Zakat sebagai satu di antara lima landasan utama agama Islam.***
Penulis pembelajar masalah kesenjangan sosial
KOMENTAR ANDA