Menghadapi ancaman PT Freeport yang bersiap mengajukan gugatan ke Arbitrase Internasional terkait perubahan status kontrak mereka. Ketua Komisi VII DPR-RI Gus Irawan Pasaribu yang membidangi energi dan lingkungan hidup, mengatakan pekan lalu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sudah melakukan pertemuan tertutup dengan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto didampingi Ketua Komisi VII DPR-RI Gus Irawan Pasaribu dan Wakil Ketua Komisi VII Satya Widhya Yudha. Menurutnya, agenda pertemuan itu adalah membahas perkembangan terkini polemik antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia yang tetap menolak perubahan status kontrak.
"Pada prinsipnya pemerintah menghormati Kontrak Karya (KK) yang diteken pemerintah dan Freeport pada 1991 silam. Namun di atas kesepakatan itu pemerintah dan perusahaan yang ada di Indonesia harus tunduk pada perundangan yang ada saat ini UU No. 4 tahun 200i tentang Mineral dan Batubara (Minerba). UU itu mensyaratkan Freeport harus tunduk pada izin usaha pertambangan khusus. Menanggapi ancaman Freeport untuk membawa persoalan itu ke arbitrase, Komisi VII DPR-RI dan pemerintah sudah punya kesepakatan untuk saling dukung," katanya, Selasa (28/20.
Soal ancaman Freeport itu Gus pun meminta Freeport jangan terlalu banyak mengumbar ke public.
"Masa ancam-mengancam kayak di pasar saja. B to B (kerja sama bisnis) itu tidak ada ancam mengancam. Iya (seperti preman)," tuturnya.
Kendati begitu, Gus mengatakan, Freeport Indonesia memang berhak untuk melayangkan gugatan ke Arbitrase Internasional, jika dalam masa perundingan dengan pemerintah tidak ada titik temu.
"Kalau tidak sepakat maka penyelesaiannya melalui arbitrase, tidak apa-apa ditempuh saja," imbuhnya.
Bila akhirnya Freeport jadi bertanding dengan Pemerintah Indonesia di Arbitrase Internasional, Gus yakin pemerintah akan mampu menghadapinya. Sebab pemerintah sudah menjalankan kebijakannya sesuai konstitusi yang berlaku.
Dia juga mengatakan, pemerintah sebenarnya juga telah berbaik hati untuk memberikan relaksasi perpanjangan persyaratan pendirian pabrik pemurnian (smelter) hingga awal 2017. Padahal menurut UU Nomor 4 Tahun 2009 perusahaan tambang diwajibkan membangun smelter 5 tahun sejak beleid itu berlaku. Namun pada 2014 pemerintah memberikan relaksasi dengan mengeluarkan PP Nomor 1 tahun 2014 yang memperpanjang syarat pendirian smelter hingga 3 tahun. Setelah itu habis pemerintah kembali memberikan pelonggaran melalui PP Nomor 1 Tahun 2017 dengan peraturan turunan yang mensyaratkan pemegang Kontrak Karya (KK) mengubah izin menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), jika ingin tetap ekspor konsentrat meski belum bangun smelter.
Akan tetapi perusahaan tambang tetap disyaratkan membangun smelter dalam jangka waktu 5 tahun. Selain itu disyaratkan juga untuk melakukan divestasi saham 51 persen. Freeport pun masih menolak kebijakan tersebut.
"Saya kira (pemerintah) kuat, kita ini kan negara berdaulat, dan ini bukan keputusan sekarang. Mestinya yurisprudensi melihat yang dulu lahir (UU Nomor 4 2014) pernah enggak ada keberatan. Enggak. Enggak ada tuh dibawa ke arbitrase UU kita, berarti kan diterima," kata Gus Irawan.
Dia juga memandang Freeport Indonesia tidak memiliki itikad baik karena ancaman pengurangan karyawan. Sebab pemerintah sebenarnya sudah memberikan izin ekspor konsentrat kepada Freeport pada Jumat 17 Februari 2017 kemarin.
"Kalau ada itikad baik dari freeport mestinya izin ekspor yang sudah diterbitkan jalan, enggak ada pengurangan karyawan," tutur Gus Irawan. Menurutnya, pemerintah Indonesia sebenarnya sudah berbaik hati kepada Freeport dan perusahaan tambang lainnya. Sebab pemerintah sebenarnya telah memberikan relaksasi perpanjangan persyaratan pendirian pabrik pemurnian (smelter) hingga awal 2017. Padahal menurut UU Nomor 4 Tahun 2009, perusahaan tambang diwajibkan membangun smelter 5 tahun sejak beleid itu berlaku.
Gus Irawan Pasaribu menambahkan bila dilihat lebih dalam, sebetulnya argumen Freeport yang bersikukuh untuk berkiblat pada KK tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, di dalam UU Minerba yang terbit tahun 2009 sudah jelas mengatur pembangunan smelter hingga tahun 2014. Lambatnya pembangunan smelter kemudian membuat pemerintah memberikan kelonggaran hingga Januari 2017 ini.
Progres pembangunan smelter yang tidak jauh lebih baik lantas membuat pemerintah dengan tegas meminta pemegang KK mengubah status kontraknya menjadi IUPK.
"Eh enggak selesai juga kan. Nah sekarang pemerintah cari solusi supaya sektor ini nggak mandeg. Terbitlah PP 1 tahun 2017. Itu kan semua pihak harus hormati itu," ujar Gus.
Gus menambahkan, posisi Indonesia sebetulnya cukup kuat untuk menghadapi arbitrase Freeport. Apalagi, ia memandang bahwa meniliki berdasarkan yurisprudensi, maka UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba berkedudukan kuat. Gus menilai, sejak 2009 hingga saat ini, aturan yang bersifat mengikat ini tidak mengalami kendala yang berarti. "Jadi kalaupun Freeport mau gugat, pemerintah akan mendapat support dari DPR-RI," demikian Gus Irawan.[rgu]
KOMENTAR ANDA