Keberadaan Freeport di Indonesia selama ini adalah potret nyata bagaimana sebuah kebijakan negara dengan mudah dinegosiasikan oleh korporasi.
Dalam catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Freeport dengan gampang bisa mendesak pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) 1/2014 untuk memberikan toleransi pengunduran kewajiban pengolahan dan pemurnian melalui pembangunan smelter hingga 11 Januari 2017. PP ini dibuat dengan melanggar batas waktu akhir kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian melalui pembangunan smelter pada tahun 2014 yang diwajibkan UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Tentu saja, PP itu adalah kado indah bagi Freeport yang tak mau merogoh kantung lebih banyak untuk melakukan pemurnian komoditas di dalam negeri. Demikian Kepala Kampanye Jatam Nasional, Melky Nahar, dan Koordinator Jatam Nasional, Merah Johansyah, dalam siaran pers mereka.
Freeport juga mampu membuat pemerintah kehilangan akal sehat dengan mengubah sendiri Peraturan Menteri ESDM 11/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan. Dalam pasal 13 Permen ini, rekomendasi ekspor diberikan apabila pembangunan smelter telah mencapai kondisi 60 persen. Namun dalam perkembangannya, Pemerintah menghapus Permen ESDM 11/2014 dengan mengeluarkan Permen ESDM 5/2016. Permen ESDM ini memberikan lagi pengecualian, diskon jika kualifikasi fisik smelter belum memenuhi target. Itu sebabnya, kemajuan pembangunan smelter Freeport Indonesia di Gresik hanya 14 persen, namun perpanjangan rekomendasi ekspor konsentrat Freeport tetap terus diberikan.
Jatam mencatat, pelanggaran UU di atas yang dilakukan Freeport dan Pemerintah sudah berjumlah "setengah lusin", dan rekomendasi ekspor yang dikeluarkan tersebut memberikan keleluasaan bagi Freeport untuk tetap melakukan ekspor bahan tambang mentah ke luar negeri.
Melalui "setengah lusin" perpanjangan rekomendasi ekspor yang diperoleh selama 2014-2016 saja, Freeport telah mengekspor 4,55 juta ton konsentrat. Dari 4,55 juta ton konsentrat ini, Freeport berhasil memproduksi 1.016 juta pon tembaga dan 1.663.000 t oz (Troy Ons) emas.
Total uang yang diperoleh Freeport dari dua tahun menikmati fasilitas perpanjangan izin ekspor tersebut mencapai USD 256 miliar atau Rp 3.328 triliun. Angka tersebut hampir setara dua kali APBN Indonesia.
Pada 2010, Freeport berkontribusi Rp 18,3 triliun bagi pendapatan negara. Namun, sejak 2012, Freeport tak lagi membayar dividen hingga hanya berkontribusi Rp 9,5 triliun dari 1.332 triliun pendapatan negara.
Pada tahun 2015, Freeport bahkan cuma menyetor Rp 5,1 triliun dari 1.496 triliun pendapatan negara atau hanya 0,3 persen dari pendapatan negara.
Maka, dalam empat tahun sejak 2012 hingga 2016, rata-rata kontribusi Freeport terhadap pendapatan negara hanya 0,4 persen.
Menurut Jatam, perbandingan antara kontribusi pajak, royalti dan Dividen Freeport pada pendapatan negara amat kecil. Rata-rata kontribusi 0,4 persen dari Pendapatan Negara tersebut harus ditebus dengan berbagai permasalahan yang timbul akibat kehadiran Freeport di Papua.
Pemerintah terlalu toleran bahkan rela mengubah peraturannya sendiri, karena tak berhasil memaksa Freeport untuk patuh pada peraturan. Termasuk memberlakukan Papua dengan tidak adil dan membiarkan kekerasan terus menerus terjadi, hanya untuk melayani Freeport.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA