Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah berupaya membentuk perusahaan induk (holding) BUMN dengan menyatukan PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Pembentukan perusahaan induk (holding) BUMN di sektor Migas ini tinggal menunggu restu dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Izin pembentukan Holding BUMN ini diterbitkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN.
Staf Khusus Menteri BUMN, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, saat ini pembentukan perusahaan induk atau holding BUMN tinggal menunggu DPR. Sebab, dibutuhkan satu pemahaman yang sama antara DPR dan stakeholder.
"Sekarang tinggal menyosialisasikan kepada teman-teman DPR supaya pemahaman terhadap PP 72 ini sama. Nanti kalau sudah, Insya Allah butuh waktu lah sedikit langsung eksekusi penggabungannya," tutur Budi di Grand Hyatt, Jakarta, kemarin.
Budi mengatakan, jika DPR dan stakeholder sudah satu pemahaman, maka pemerintah akan membuat Peraturan Pemerintah untuk masing-masing holding. Di mana ada enam sektor holding yakni pertambangan, migas, perumahan, jalan tol, jasa keuangan, serta pangan.
"Aturan PP ini teknisnya saja, untuk masing-masing holding. Misalnya saham di Bukit Asam, Antam, kan mesti ke Inalum. Jadi teknisnya ada di PP itu," ujarnya.
Oleh karena proses ini, Budi mengakui belum bisa menentukan kapan holding BUMN akhirnya selesai. Sebab, sudah beberapa kali sejak 2016, pembentukan holding BUMN ini butuh meeting satu atau dua kali lagi. "Mudah-mudahan selesai, kalau sudah baru nanti dibuat masing-masing holding, baru buat PP dari waktu yang ditetapkan," katanya.
Di tempat terpisah, Komisi VI DPR juga menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Deputi Bidang Energi, Logistik, dan Pariwisata Kementerian BUMN bersama PT Pertamina (Persero) dan anak usahanya, PT Pertamina Gas (Pertagas) untuk membahas pembentukan holding BUMN Minyak dan Gas (migas).
Deputi Bidang Energi, Logistik, dan Pariwisata Kementerian BUMN, Edwin Hidayat Abdullah mengatakan, pembentukan holding migas bertujuan untuk menjawab tantangan yang dihadapi industri gas Indonesia, yaitu peningkatan kebutuhan gas sebanyak 5 kali lipat pada 2050.
"Tingginya ketergantungan Indonesia pada impor gas, harga gas yang relatif tinggi dan ketidak seimbangan sumber gas di seluruh Indonesia," kata Edwin, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VI, di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Edwin melanjutkan, pembentukan holding migas akan mendorong ketahanan energi dan perekonomian, melalui sinergi Pertamina dan PGN. Karena akan menghubungkan infrastruktur gas dari barat (Arun) sampai timur (Papua), melalui peningkatan pasokan gas domestik, efektifitas dan efisiensi distribusi gas dan optimalisasi infrastruktur gas.
Edwin menuturkan, hal ini memberikan berbagai manfaat, di antaranya membuka ruang penurunan harga gas pada tingkat konsumen akhir karena efisiensi di seluruh mata rantai.
Penurunan harga gas akan berdampak pada peningkatan daya saing industri karena biaya produksi menurun sehingga harga produk yang dihasilkan menjadi lebih murah. "Manfaatnya, pembangunan infrastruktur yang tidak tumpang tindih untuk pasokan gas ke konsumen akhir," kata Edwin.
Edwin mengungkapkan, dampak berganda yang didapat dari holding migas adalah dapat meningkatkan pendapatan negara dari pajak, karena pendapatan industri meningkat. "Meningkatkan penyerapan tenaga kerja industri, karena pertumbuhan sektor industri," tutur Edwin.
Dia melanjutkan, DPR masih ingin mengkaji lagi penerbitan ijin PP Nomor 72 Tahun 2016 tersebut. Padahal, pembentukan holding migas perlu dikebut agar distribusi gas menjadi lebih efisien.
"DPR masih meminta kajian kembali soal PP 72. Kami ingin secepatnya, ternyata ada beberapa masalah administrasi yang perlu dikerjakan," imbuhnya.
Tunda Pembentukan Holding
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijana menjelaskan, DPR memang meminta pemerintah menunda pembentukan holding BUMN migas karena dasar hukumnya, yaitu PP Nomor 72 Tahun 2016, bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Ia menitikberatkan pada pasal 2APP tersebut, di mana saham pemerintah di suatu BUMN bisa disertakan ke dalam BUMN lain atau Perseroan Terbatas (PT) lain (inbreng) tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurutnya, pasal tersebut sangat berbahaya karena membuka peluang privatisasi BUMN tanpa persetujuan lembaga legislatif. "Tidak bisa seperti ini. Kalau dibiarkan, BUMN kita bisa saja diberikan ke swasta. Makanya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Menteri Keuangan, kami jelas menolak," ujarnya.
Di samping itu, ia juga menyayangkan sikap Kementerian BUMN yang tidak pernah mengiktsertakan DPR di dalam penyusunan PP tersebut. Bahkan, sampai saat ini DPR belum mendengar secara langsung maksud dan tujuan pemerintah membentuk holding BUMN.
"Kami sebetulnya ingin mendengar, maunya apa dan sasarannya apa dengan PP Nomor 72? Karena sebagai pengawas APBN, kami perlu dilibatkan. Ini kan menyangkut uang negara. Karena minimnya informasi, kami juga belum bisa menilai urgensi pembentukan holding ini apa sebetulnya," tandasnya.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA