Kemelut yang terjadi atas kontrak karya PT Freeport Indonesia seharusnya tidak perlu terjadi andai kabinet ini tidak gagal paham dalam menyikapi kontrak karya yang masih berlaku.
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean mengatakan, pemerintah nampaknya salah mengartikan dan memaknai ketegasan yang tepat dan kesalahan yang tegas.
"Bagi saya kabinet ini, terutama yang menangani ESDM yang dikordinasi Menko Maritim Luhut Panjaitan dan membawahi menteri ESDM Iganitius Djonan serta Archandra Tahar sebagai Wamen ESDM, sangat patut diduga gagal paham tentang letak permasalahan PT Freeport. Mestinya kita bisa memiliki dan mengambil alih Freeport secara baik dan benar pasca 2021,” tutur Ferdinand, di Jakarta, Kamis (23/2).
Meskipun, lanjut dia, keberanian Pemerintah mengeluarkan PP 1/2017 patut diapresiasi sebagai langkah yang tepat dan harus didukung sebagai solusi jangka panjang. Hanya yang disayangkan, sepertinya pemerintah di bawah kordinasi Luhut Panjaitan sebagai Menko dan Djonan sebagai Menteri serta Archandra Wamen ESDM gagal paham harus menerapkan PP tersebut terhadap siapa saat ini.
"Bahkan ada kesan negatif bahwa motif PP itu sesungguhnya untuk mensiasati Undang Undang Minerba agar Freeport bisa ekspor konsentrat lagi secara terbuka dengan peralihan KK ke IUPK, karena didalam Undang Undang Minerba tidak diatur tentang larangan ekspor terhadap rejim IUPK. Itu hanya akal-akalan yang berujung pada masalah,” ujarnya.
Dikatakan Ferdinand, memaksakan perubahan Kontrak Karya Freeport menjadi rejim IUPK adalah kesalahan yang tidak sepatutnya terjadi. Bahkan, lanjut dia, melakukan negosiasi terhadap kontrak karya pun dilarang oleh Undang Undang Minerba sebelum 2 tahun menjelang berakhirnya Kontrak Karya. Apalagi merubah status Kontrak Karya secara sepihak menjadi IUPK.
"Kontrak Karya adalah sebuah ikatan keperdataan antara Pemerintah Republik Indonesia sebagai pemberi kontrak dengan PT Freeport Indonesia sebagai penerima kontrak,” ujarnya.
Bicara tentang hukum dan aturan, kata Ferdinand, Kontrak Karya itu adalah sebuah ikatan hukum yang sifatnya lex specialist. Ikatan kedua belah pihak adalah Kontrak Karya sejak ditandatangani hingga berakhir dengan dasar Undang Undang yang berlaku pada saat KK ditandatangani.
Apabila ada perubahan yang ingin mengikuti perubahan Undang Undang, lanjut dia, maka wajib atas kesepakatan dan persetujuan kedua belah pihak, tidak bisa dilakukan sepihak.
"Yang salah adalah substansi Kontrak Karya yang dipegang oleh Freeport. Kontrak Karya dibuat terlalu berpihak kepada Freeport, mungkin pertimbangannya adalah demi kemudahan investasi. Jadi wajar jika kemudian Freeport mengancam akan membawa masalah ini kepada peradilan Arbitrase Internasional,” ujarnya.
Menurut dia, dapat dipastikan bahwa bila Freeport menempuh langkah hukum tersebut, Indonesia akan kalah, karena memang Kontrak Karyanya lemah bagi posisi Indonesia sebagai pemilik wilayah pertambangan.
Bagaimana posisi Indonesia seharusnya? Menurut Ferdinand, mestinya Indonesia menghormati Kontrak Karya yang sedang berjalan dan tidak melakukan hal-hal yang justru merugikan posisi Indonesia baik secara hukum maupun secara ekonomi.
"Rejim kontrak karya harus dihormati hingga 2021, sembari pemerintah terus melakukan negosiasi dengan Freeport terkait kewajiban-kewajibannya sesuai perubahan Undang Undang terutama menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian,” ujarnya.
Dia mengingatkan, di akhir masa pemerintahan SBY, Freeport dan Pemerintah pernah menandatangani MoU yang salah satunya adalah terkait dengan kewajiban dan komitmen pembangunan fasilitas permunian atau smelter.
Mestinya pemerintah fokus pada hal penyelesaian smelter dan yang kedua menyelesaikan proses divestasi saham hingga 30 persen sesuai Kontrak Karya.
Jika 2 hal tersebut sukses dilakukan, lanjut Ferdinand, maka Indonesia akan lebih mudah melakukan negosiasi terkait kelangsungan kontrak Freeport pasca berakhirnya Kontrak Karya tahun 2021. Barulah setelah itu, Freeport diwajibkan mengikuti rejim IUPK sesuai Undang Undang Minerba dan PP 1/2017.
"Jika Freeport tidak bersedia, maka secara hukum Pemerintah tidak salah jika harus menghentikan operasi Freport dan mengambil alih operasi tambang di Papua tersebut,” ujarnya.
Saat ini, kata dia, nasi sudah menjadi bubur. Kemelut terlanjur meruncing akibat kegagalan pemerintah memahami ketegasan dan kesalahan yang tegas. Freeport memberi waktu 120 hari kepada Pemerintah untuk kembali menghormati Kontrak Karya, jika tidak, maka akan membawa masalah ini ke Arbitrase Internasional.
"Di satu sisi Menteri Djonan juga mengancam membawa Freeport ke Arbitrase Internasional. Ini jelas akan berdampak secara ekonomi kepada Indonesia. Disatu sisi kita mengundang investor tapi disi lain kita tidak membuat kepastian kepada investasi yang sudah berjalan,” katanya.
Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah? "Mundur salah maju salah. Tidak ada pilihan lain bagi penerintah. Memilih untuk mundur akan dicap tunduk kepada korporasi,” kata Ferdinand.
Pemerintah wajib tetap mengambil langkah maju dengan segala resiko dari kesalahan yang sudah terjadi meski kesalahan tersebut dibumbui dengan aroma nasionalisme.
Dia mengingatkan agar pemerintah harus tetap meneruskan apa yang sudah dimulai dengan menghadapi segala resiko ancaman yang diancamkan oleh Freeport. "Atau pilihan lain pemerintah mengeluarkan Perpu sebagai pengganti Undang Undang Minerba, dan kemudian mengubah PP sebagai solusi jalan tengah. Namun inipun bukan tidak beresiko,” katanya.
Yang pasti, kata Ferdinand, kemelut ini akan berujung pada gangguan penerimaan negara, pajak dan ketenagakerjaan di Papua.
"Kita mendukung upaya penerintah untuk bertindak tegas, tapi bukan melakukan kesalahan yang tegas. Semoga kemelut ini bukan permainan oknum-oknum diranah kebijakan yang justru punya agenda dan kepentingan pribadi atau kelompok terkait kelangsungan Freeport. Kita dukung pemerintah untuk berani tidak melanjutkan operasi Freeport pasca 2021,” ujarnya. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA