Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sudah mengklarifikasi bahwa pihaknya tidak akan melakukan sertifikasi terhadap khatib Jumat. Pemerintah hanya berencana mengatur standarisasi khatib Jumat menyusul adanya penceramah, khususnya khatib, yang dinilai mengancam persatuan umat.
Meski demikian, wacana standarisasi ini juga masih masih mengandung polemik di tengah masyarakat dan banyak pertanyaan di masyarakat. Karena itu Menag harus menjelaskan lebih detail.
"Pemerintah sebaiknya menjelaskan ke publik secara terbuka tentang tujuan sesungguhnya dari kebijkan tersebut agar publik mendapat informasi yang memadai soal rencana tersebut," jelas Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, pagi ini.
Selain itu, dia mengingatkan, kebijakan tersebut harus dipastikan tidak diskriminatif. Karena muncul pertanyaan, apakah sertifikasi dan standarisasi tersebut hanya terhadap tokoh-tokoh agama tertentu? Apakah hal yang sama terjadi juga terhadap Pastur (Katholik), Pendeta (Kristen), Bhiksu/Biksu (Budha), Pendeta (Hindu), Kongchu (Kong Hu Chu)?
"Ini harus dijelaskan ke publik," katanya.
Maneger juga berharap Kemenag juga sebaiknya memberikan jaminan bahwa kebijakan tersebut tidak memunculkan masalah baru dan keresahan publik.
Sebelumnya, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menilai tidak perlu adanya sertifikasi maupun standarisasi khatib maupun muballigh, lebih-lebih ulama. Menurutnya, biarkan itu tumbuh secara kultural. Karena memang dai, ustad dan lainnya itu lahir dari masyarakat yang kultural.
"Yang seharusnya perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas dan memperbanyak da’i-da’i ke daerah-daerah, dan memperluas jangkauannya hingga ke pelosok negeri, agar bisa menjangkau umat yang perlu bimbingan keagamaan," ungkap Haedar.
"Sebab, kalau dibuat standarisasi dan pakai seragam nanti malah jangan-jangan banyak umat yang tidak bisa terbina, gara-gara sertifikasi dan standarisasi yang maksudnya baik namun hasilnya menjadi tidak maslahat," tandasnya. [zul]
KOMENTAR ANDA