Pimpinan puncak yang baru di Pertamina harus memastikan dirinya tidak akan pernah terintervensi oleh kepentingan non negara. Manajemen baru BUMN itu harus berani melawan kepentingan-kepentingan kelompok yang bertentangan dengan perwujudan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hanya dengan cara begitu Pertamina dapat menjadi world wide corporation seperti diharapkan oleh Presiden Joko Widodo.
Demikian ditegaskan President Indonesia Strategic Management Society, Sari Wahyuni, kepada wartawan. Ia menanggapi pencopotan dua pimpinan puncak Pertamina, Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang dari posisi Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama.
Dia mencatat banyak keberhasilan Pertamina di tangan Dwi Soetjipto. Yang menonjol adalah laba Pertamina telah melampaui Petronas, sesuai harapan presiden. Itu bukan upaya yang mudah jika melihat sejarah Pertamina sebelumnya.
"Menghapus peran Petral dan mata rantai bisnis Pertamina yang tidak efisien dilakukan oleh Dwi Soetjipto. Di tangannya, BUMN yang karut marut itu bisa jadi pemain kelas dunia dan merambah ke manca negara," ujar Sari Wahyuni yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEBUI).
Menurut Sari, pengangkatan Dwi Soetjipto sebagai orang nomor satu di Pertamina pada November 2014 silam tidak lepas dari rekam jejaknya sebagai orang nomor satu PT Semen Indonesia. Di tanganya, laba Semen Indonesia melonjak 11 kali lipat dalam waktu kurang lebih 9 tahun, dari Rp 500 miliar menjadi Rp 5,5 triliun.
"Di Pertamina yang kata banyak orang sarang mafia, mata rantai yang tidak efisien pun dipotong mulai dari Petral hingga efisiensi tahun lalu mencapai hampir sekitar Rp 8 triliun. Di saat Petronas memutus hubungan kerja 1000 orang, Pertamina tetap mempertahankan pegawainya bahkan meraup laba dari Rp 18 triliun menjadi Rp 19 triliun. Belum lagi, harga BBM nasional di seluruh wilayah Indonesia berhasil diterapkan," urainya.
Dengan mengulang pernyataan Menteri BUMN Rini Soemarno pada 28 November 2014, dosen FEBUI itu mengatakan, penunjukan Dwi Soetjipto sebagai orang nomor satu di Pertamina dengan target mempercepat transformasi Pertamina untuk menjadi perusahaan kelas dunia dan sekaligus menerapkan transparansi yang berlaku dari hulu
hingga ke hilir.
Sari mengatakan, masyarakat Indonesia sudah dapat membaca apa yang terjadi di balik pencopotan mereka. Akhirnya, karena kasus ini, Pertamina harus menghadapi realita masa depan yang tidak jelas.
Kelanjutan proses transformasi pun dipertanyakan.Bagi Sari, pernyataan Menteri BUMN Rini Soemarno, yang menjelaskan alasan personal dan dualisme kepemimpinan sebagai landasan penggantian direksi Pertamina, terasa sangat dangkal.
"Betapapun bagusnya suatu strategi, semua tergantung pada implementasinya. Penerapan strategi ini akan sangat ditentukan oleh pemimpinnya, budaya organisasi, SDM, dan satu lagi yang sering terlupakan tapi bisa sangat menentukan adalah politik.
Banyak orang yang kompeten akhirnya tersungkur atau disingkirkan. Yang terakhir ini nampaknya yang terjadi di Pertamina. Jika seperti ini terus kondisinya, Pertamina tidak memiliki masa depan," ujarnya.
Pertanyaan kedua adalah bagaimana masa depan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang harus dipikul oleh Pertamina dan industri migas Indonesia akan diwujudkan. Dalam posisi ini, pemerintah harus berhati-hati karena situasi tidak kondusif dapat mengebiri organisasi, bahkan membawa organisasi ke arah yang salah, terutama ketika konflik memang ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Ia menyebut banyak contoh dalam literatur yang menegaskan bahwa "conflict is a silent weapon". Konsentrasi dan energi korporasi justru lari ke konflik sehingga kinerja perusahaan terabaikan. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA