Kasus kekerasan seksual saat ini banyak terjadi di tengah masyarakat di Indonesia. Kekerasan seksual terjadi tidak hanya di lokasi tertentu saja, akan tetapi di dalam rumah dan bahkan di kantor banyak terjadi kekerasan seksual.
Korban kekerasan seksual ini 90 persen adalah kaum perempuan. Namun, banyak sekali kasus kekerasan seksual berakhir tidak jelas proses hukumnya dan dianggap ringan oleh aparat penegak hukum. Padahal, korban kekerasan seksual mengalami siksaan fisik, psikologis dan sosial dan trauma. Oleh karena itu,
Endah Lismartini, dari Divisi Perempuan, Anak dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengatakan, tidak sedikit media yang menghasilkan produk jurnalistik yang justru bisa memperparah kondisi psikologis korban kekerasan seksual.
"Berita kekerasan seksual sampai saat ini masih menjadi isu yang sangat menarik untuk dipublikasikan. Akan tetapi, dalam banyak pemberitaan, korban justru tidak dilindungi malah cenderung disudutkan karena penulisan nama, publikasi alamat, sampai orang-orang terdekat," katanya dalam Diskusi Publik dengan judul "Perempuan Dalam Pusaran Kekerasan Seksual", yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Medan bersama Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), di Medan, Kamis (9/2).
Padahal, menurut Endah, peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban sendiri, sudah menjadi momok yang menakutkan.
“Jurnalis harus melindungi korban dari berbagai efek negatif yang mungkin muncul dari masyarakat,” tegas Endah.
Sementara itu, Fakhturozzi dari Forum Pengada Layanan Kekerasan Perempuan dan Anak Indonesia mengatakan, kasus kekerasan seksual justru banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat. Oleh karena itu, seharusnya perlindungan yang diberikan oleh negara tidak dibatasi hanya di luar rumah saja.
"Kekerasan seksual juga terjadi di dalam rumah tangga sendiri. Selain itu, kondisi sosial masyarakat sendiri masih menganggap kekerasan seksual sebagai kasus yang mempermalukan bagi lingkungannya," ungkapnya.
Menurutnya, banyak korban kekerasan seksual tidak hanya menderita secara fisik, akan tetapi secara psikis yang dilakukan oleh masyarakat.
“Dalam draft rancangan undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, beberapa pasal soal kekerasan seksual dalam rumah tangga dihapuskan. Padahal, rumah tangga juga tidak aman dari kekerasan seksual,” tandasnya.
Lebih lanjut, Ketua IWAPI Sumut, Rosna Nurleli Siregar menuturkan, selama ini banyak kalangan wanita sendiri yang tidak memahami bahwa kekerasan seksual adalah tindakan yang melanggar hukum. Wanita sendiri harus menjadi tonggak untuk mendukung Undang-undang yang akan melindungi mereka sendiri.
“Kami sangat serius menanggapi kasus ini, oleh karena itu kami sangat mendukung agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu segera disahkan. Wanita butuh perlindungan hukum yang tegas,” ujarnya.
Senada, Koordinator Divisi Perempuan dan Anak AJI Medan, Sri Wahyuni Nukman menegaskan, Pemerintah harus menghargai kaum perempuan dengan segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
"DPR RI seharusnya menanggapi isu kekerasan seksual dengan lebih serius. Kami mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” tegasnya.
Selain mengundang media, diskusi publik ini juga diikuti oleh berbagai kalangan; diantaranya Komunitas Pengajian Perempuan (IM3), Pengajian Ar Rasyid, kalangan pelaku dunia usaha, akademisi, serta mahasiswa dan ibu rumah tangga.[rgu]
KOMENTAR ANDA