post image
KOMENTAR
Kebijakan Presiden terkait reformasi pelayanan di sektor BUMN dan BUMD khususnya belum berdampak positif di Sumatera Utara seperti pelayanan di PDAM Tirtanadi. Pelayanan Tirtanadi yang semakin hari semakin mengecewakan dilihat dari banyaknya keluhan pelanggan yang tidak diselesaikan bahkan pelanggan seringkali mendapat intimidasi. Pelayanan yang diberikan terkesan tidak ramah dan merugikan pelanggan, bahkan sikap arogansi dari frontliner PDAM Tirtanadi kerap dipertontonkan.
 
Petinggi Tirtanadi, saya menyebutnya Tirtanadi saja tidak pakai PDAM karena yang mengalir ke pelanggan bukan "Air Minum" atau "air bersih", tetapi air keruh dan berlumpur yang keseringan mati dan hanya menegeluarkan angin saja. Petinggi Tirtanadi menganggap keluhan pelanggan hanya celotehan yang tidak perlu direspon, karena perusahaan ini tidak memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang diketahui pelanggan. Sehingga ketika kualitas, kuantitas, kontinuitas air yang buruk dikeluhkan pelanggan, maka tidak ada satu regulasi pun mewajibkan Tirtanadi memberikan ganti rugi atau kompensasi bagi pelanggan.
 
PDAM Tirtanadi sebagai perusahaan pelayanan publik berkewajiban membuat peraturan Standar Pelayanan Minimal (SPM) berbentuk Perda atau peraturan lain sejenis. Tanpa adanya SPM, pelayanan PDAM Tirtanadi dinilai semakin buruk dan pelanggan selalu dalam posisi dirugikan. Maka, alasan apapun yang disampaikan PDAM Tirtanadi, apakah pembangunan IPA atau kenaikan tarif adalah omong kosong belaka untuk melayani pelanggan.
 
Idealnya penyertaan modal, penghapusan utang, pembayaran online dan pengembangan IPA Sunggal berbanding lurus dengan peningkatan mutu pelayanan menjadi lebih baik. Tetapi, trend pengaduan pelanggan terkait buruknya pelayanan PDAM Tirtanadi justru meningkat dari tahun ke tahun. Keluhan Air keruh/berlumpur, aliran macet, tagihan tinggi, laporan pipa bocor, masih mendominasi sejak kenaikan tarif tahun 2013. Jadi, patut diduga kebijakan yang dilakukan bukan untuk pelayanan pelanggan, tetapi untuk menuntupi biaya belanja direksi dan pegawai yang membengkak.
 
PDAM Tirtanadi tentu dapat berguru kepada BUMN atau PDAM terbaik di Jawa dan Bali terkait Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam memperlakukan pelanggannya. Pelanggan sebagai urat nadi PDAM Tirtanadi harus mendapat pelayanan prima bukan malah mendapat intimidasi dan mengharap belas kasihan. Konsumen harus mendapatkan kompensasi pengurangan tagihan ketika Tirtanadi gagal memenuhi mutu pelayanan.
 
Ketiadaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang diketahui menyebabkan pelanggan putus asa ketika mengadu ke PDAM Tirtanadi, seperti yang dialami Melianti warga Mutiara Residence yang dicueki dan diintimidasi ketika mengadu terkait tagihan berbeda dengan meteran serta 2 tahun tidak kunjung diselesaikan. Berbeda dengan Rizki warga Medan Amplas yang dipaksa tetap membayar tagihan walaupun kualitas air berlumpur dan macet, tetapi harus membayar tagihan yang mahal bahkan dibebani denda yang tinggi ketika terlambat membayar tagihan. Keluhan serupa banyak disampaikan pelanggan dan meningkat setiap tahunnya.
 
Pelayanan penyelesaian pengaduan selama ini juga layak mendapat kritik, karena penanganan masalah cenderung kasuistik tanpa berusaha menyelesaikan penyebab pengaduan. Masalah yang ditangani hanya pelanggan yang mengadu saja, tanpa memperbaiki infrastruktur dan manajemen frontliner pelayanan PDAM Tirtanadi secara menyeluruh. Jadi, ketika pelanggan menolak kenaikan tarif baik tahun 2013 ataupun masa mendatang cukup beralasan karena PDAM Tirtanadi masih gagal memenuhi mutu pelayanan.***

Sekretaris Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK)

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini