Ketua Umum DPP Partai Demokrat SBY mengingatkan bahwa menurut konstitusi Indonesia yang kita tuju bukan hanya Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat, tetapi juga Indonesia yang adil dan makmur. Kata-kata adil dan makmur tersebut, mesti diletakkan dalam satu kebulatan, satu nafas dan satu jiwa.
"Tak ada artinya jika Indonesia makmur, tetapi tidak adil. Kita ingin agar semua rakyat Indonesia makmur. Makmur bersama, dan bukan makmur sendiri-sendiri," ungkap SBY saat menyampaikan pidato politik dengan tema "Indonesia Untuk Semua" dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) dan Dies Natalis ke-15 Partai Demokrat di JCC, Jakarta, Selasa malam (7/2).
Lebih jauh mantan Presiden ini menyampaikan bahwa di awal abad ke 21 ini, muncul kesadaran yang bersifat global bahwa kemiskinan dan ketimpangan sedunia harus dihentikan. Masih banyaknya kaum miskin, termasuk yang sangat miskin, disertai ketimpangan yang semakin dalam, membuat dunia menjadi tidak adil dan juga tidak aman.
"Kita saksikan banyak terjadi konflik, kekerasan dan gangguan keamanan, karena banyak yang merasa kalah, tersisih dan ditinggalkan. Mereka mencari keadilan dengan cara dan pilihannya sendiri-sendiri. Tren dunia abad 21 memang ditandai oleh kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin menganga," jelasnya.
Bahkan, kata dia, separuh kekayaan dunia dimiliki oleh orang-orang kaya yang jumlahnya hanya sekitar 1% saja. Sementara, separuh sisanya harus dibagi oleh 99% penduduk bumi yang lain.
"Di Indonesia, potret kita juga kurang memberikan harapan. Total kekayaan 150 orang terkaya, setara dengan APBN kita. Bahkan, harta orang Indonesia yang paling kaya jumlahnya 3 kali APBD Jakarta, 8,5 kali APBD Jawa Timur, dan 95 kali APBD Maluku Utara," beber SBY.
Dia mengakui bahwa menjadi kaya tentu bukan kejahatan atau dosa. Asalkan, kekayaan itu diperoleh secara halal, tidak lalai membayar pajak, dan rajin berbagi dengan yang tidak mampu.
"Tetapi, bagaimanapun negara bersalah dan berdosa jika tidak memikirkan, tidak membantu dan tidak meningkatkan taraf hidup rakyat miskin. Inilah esensi dari keadilan sosial-ekonomi yang harus kita tegakkan," tegasnya.
Karena itu, negara tidak boleh asyik dan terlena dengan hukum-hukum pasar dan ajaran kapitalisme semata. Dia mengingatkan, pasar bebas, ajaran neolib dan kapitalisme yang fundamental tidak peka dan tidak peduli terhadap mereka yang tersisih dan tertinggal. Negara tidak boleh hanya mengikuti kepentingan perusahaan bisnis multinasional dan liberalisasi perdagangan bebas, tanpa memikirkan dampak negatifnya bagi rakyat.
Meski demikian, diakuinya pula, melepas harga-harga kebutuhan pokok mengikuti harga pasar semata, tanpa memperhatikan daya beli rakyat, bukanlah pilihan yang bijak. Ini tak berarti kita masuk ke perangkap ekonomi komando atau ekonomi yang sosialistik-komunistik. Tidak berarti pula pemerintah harus selalu menetapkan dan mengendalikan harga-harga.
"Saya tahu hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi yang harus efisien. Namun, bagi negara berkembang atau emerging market, di mana pendapatan per kapita dan daya beli rakyat masih rendah, diperlukan keseimbangan antara mekanisme pasar dan peran pemerintah yang proporsional. Pemerintah tak boleh menyerahkan segalanya ke mekanisme pasar bebas. Intervensi pemerintah yang positif, proporsional dan diperlukan (necessary) tetaplah harus dilakukan," tandasnya.
"Bergabung ke aliansi kerja sama ekonomi yang ditawarkan negara-negara besar haruslah berhati-hati. Pemerintah harus cermat jika harus bergabung dalam kerja sama ekonomi yang mengikat dan terstruktur ketat, seperti Trans-Pacific Partnership (TPP). Sebab, kalau kita gegabah, tidak siap dan salah perhitungan, Indonesia akan sangat dirugikan," demikian SBY.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA