Pemerintah harus mempertegas definisi dari objek tanah terlantar atau menganggur yang rencananya bakal dikenakan pajak progresif. Pemerintah mesti menyadari bahwa kebijakan itu dapat menjadi bumerang.
Pengamat properti, Andreas P. Siregar, mengatakan, pajak progresif untuk tanah menganggur akan berdampak negatif pada iklim usaha pasar properti, baik bagi pengembang maupun konsumen.
''Tanpa rumusan yang jelas, wacana pemerintah itu bakal mengerek harga jual properti. Pasalnya, biaya pengembangan proyek bakal meningkat bila lahan yang menjadi bahan baku utama produk properti juga dikenakan pajak,'' ujarnya, dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi.
Dia yakin kebijakan itu akan membuat kebutuhan tanah untuk pengembang, termasuk pengembang perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), semakin sulit.
''Bagaimana dengan program pemerintah untuk mempercepat pembangunan hunian bagi si miskin. Rumah murah otomatis akan naik tinggi harganya,'' ucapnya.
Andreas meminta pemerintah dapat membedakan mana tanah spekulasi dan mana tanah yang akan diproduksi oleh pengembang. Spekulan membeli tanah untuk menunggu harga tanah tersebut naik kemudian dijual kembali dengan harga lebih mahal. Sementara pengembang sudah memikirkan apa yang akan dibangun di atas tanah tersebut ketika membelinya.
Tak hanya itu, lanjut Andreas, membeli tanah juga tidak gampang karena harus mengantongi beberapa izin, salah satunya Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT). Karena kesulitan tersebut, pengembang biasanya sudah memiliki rencana dalam mengembangkan tanah. Meski tidak langsung mengembangkannya, bukan berarti pengembang menelantarkan tanah.
"Pemerintah harus bisa melihat dan membedakan mana spekulasi dan mana yang produktif," tutur Founder Raja School of Property dan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) itu.
Andreas juga mempertanyakan, apakah cadangan lahan atau lahan yang sudah dibebaskan tapi belum dikembangkan dapat tergolong tanah terlantar. Padahal, tanah yang belum dikembangkan itu tergolong cadangan lahan yang akan dikembangkan sesuai dengan rencana bisnis.
Andreas juga berharap, sebelum satu bidang lahan pengembang ditetapkan sebagai lahan telantar, kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat berkoordinasi dengan REI di daerah untuk ikut memberi penilaian atau masukan profesional. Hal itu dimaksudkan agar tidak menimbulkan kepanikan dan mengganggu aktivitas ekonomi dunia usaha serta merugikan masyarakat.
Perlu diingat, belum ada negara yang melarang warganya untuk melakukan investasi dalam bentuk kepemilikan tanah atau langsung memvonisnya sebagai aksi spekulasi.
Dia tegaskan, spekulan muncul dipicu kebijakan pemerintah yang ingin mempercepat pembangunan infrastruktur sehingga membutuhkan tanah dengan luasan yang sangat besar.
Karenanya, Andreas menegaskan, wacana pajak progresif untuk tanah terlantar akan tepat sasaran bila diberlakukan kepada pemilik tanah dari kalangan individu sebagai kepemilikan berlebih tapi dilengkapi rumusan yang jelas dan berkeadilan.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA