Penyidikan kasus suap yang menimpa mantan hakim konstusi Patrialis Akbar mulai mengungkap silang sengkarut kepentingan di balik sebuah produk hukum. Apalagi, jika produk hukum tersebut langsung berdampak pada sektor bisnis tertentu yang menggiurkan.
Diketahui, Patrialis Akbar tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) lantaran menerima suap untuk memuluskan uji materi atas UU 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Di mana, pada pasal 36C mengatur impor daging boleh dari zona yang dinyatakan sehat dari negara tertentu. Sebelum adanya aturan itu, sumber impor ditentukan berdasarkan negara, sementara pada undang-undang tersebut hanya berdasarkan zona dari suatu negara.
Pengamat hukum tata negara Universitas Al Azhar Rahmat Bagja mencontohkan, dulu impor sapi dari India dilarang karena penyakit mulit dan kuku, tetapi sekarang impor diperbolehkan dari zona tertentu di India yang sudah dinyatakan bebas penyakit.
Menurutnya, implikasi dari pasal tersebut adalah terbukanya alternatif sumber impor daging. Jika aturan sebelumnya akhirnya menghasilkan situasi Indonesia hanya boleh mengimpor dari Australia dan New Zealand, kini daging bisa masuk dari berbagai negara selama memenuhi pesyaratan kesehatan dan tata laksana impor. Tidak hanya India, negara seperti Brazil, Argentina, dan Meksiko mulai disebut-sebut sebagai negara sumber impor.
"Di sini hukum ekonomi berlaku. Jika penawaran banyak tentu harga bergerak turun. Konsumen diuntungkan. Yang selama ini menikmati margin yang tinggi karena impor yang terbatas, yang menyebabkan penawaran terbatas dan harga mahal tentu tidak happy dengan UU 41/2014," bebernya kepada wartawan di Jakarta, Senin (6/2).
Bagja menjelaskan, ongkos terbesar dari kasus suap itu adalah hilangnya kredibilitas putusan Mahkamah Konstitusi yang akan dibacakan.
"Serba salah. Apapun putusannya, masyarakat keburu tidak percaya karena sudah dianggap masuk angin," ujarnya.
Dia mengakui bahwa keputusan MK diambil bukan hanya oleh Patrialis Akbar. Karena itu, bukan tidak mungkin diperlukan pengusutan dugaan keterlibatan hakim konstitusi lain dalam kasus tersebut.
"Saya tidak mau berandai-andai karena putusan itu belum keluar. Tapi, kita bisa rasakan dilemanya. Jika pasal 36C dinyatakan tidak berlaku berarti menguntungkan pihak tertentu, begitu juga sebaliknya. Masyarakat bisa mencium aroma persaingan bisnis yang keras dalam kasus ini. Saya belum tahu bagaimana mekanisme MK keluar dari kondisi dilematis ini. Apakah akan diadakan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) ulang atau bagaimana," papar Bagja.
Ditambahkannya, kasus Patrialis Akbar adalah puncak dari gunung es. Kalau proses lobi yang berbentuk suap yang dilakukan oleh perusahaan berhasil maka yang terjadi adalah harga daging akan melonjak kembali. Ke depan, Indonesia akan kembali didikte oleh Australia, Selandia Baru dan jejaring pengusaha impor tertentu saja.
"Ujungnya yang paling dirugikan adalah konsumen, karena harus membayar lebih mahal," tandas Bagja.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA