post image
KOMENTAR
Senin dinihari, Bere (keponakan, bahasa Batak) Natania Anne Arle boru Tambunan wafat di usia 11 bulan. Dia keponakan kandung yang sangat saya kasihi, walau kami jarang bertemu, hanya sering melihat fotonya melalui kiriman WA. Terakhir kami bertemu saat hari kedua Natal 26 Desember 2016 dan saya sempat menggendong menciuminya penuh cinta. Sore tadi Natania dimakamkan di TPU Kampung Kandang, Jakarta Selatan.

Air mata sempat jatuh berderai saat takziah karena sedih melihat tubuh kaku Natania yang saya kasihi, juga teringat almarhumah ananda Matahari Hadya Tamba anak ketiga yang telah lebih dahulu wafat medio Mei 2016 lalu (lahir sebulan sebelum Natania), dan saya terus berdoa dalam hati sepanjang pemakaman, agar almarhumah Bere Natania yang polos tak berdosa mendapat tempat terbaik di sisi GUSTI ALLAH. Selamat jalan, istirahatlah dengan tenang, Bereku Natania.

Setelah pemakaman jelang malam hari, saya mengantarkan orangtua kembali ke rumah kediaman masa kecil saya di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, bersama adik dan pariban (anak dari Tulang, paman dari pihak ibu, bahasa Batak), dan kami sempat bernostalgia masa lalu, mengupdate info keluarga besar yang kini makin membaur beraneka ragam suku dan agama, serta tinggal di berbagai tempat yang terpisah jarak dan waktu.

Saya miris melihat fenomena konflik sosial yang kini banyak terjadi di Indonesia, terlebih pasca maraknya berbagai protes dan demonstrasi terkait kasus penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu, September 2016 yang lalu.

Buat saya, Bhinneka Tunggal Ika telah final dan mengikat, karena saya adalah seorang mualaf Islam sejak 2002 yang lahir dari Papi purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Mami seorang penginjil denominasi Gereja Kristen Protestan terbesar di Indonesia (yang mengajari saya tentang Alkitab setiap hari saat kecil), yang menghargai dan tak mengusik pilihan saya memeluk keyakinan sebagai Muslim, berbeda-beda tapi tetap satu keluarga yang saling menyayangi. Bahkan, saat kerap berdemonstrasi menentang berbagai ketidakadilan di era Orba hingga kini, orangtua menghargai pilihan politik saya, walau berpesan untuk selalu hati-hati menjaga diri.

Jadi, jangan berdebat tentang ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dengan saya, walau saya seorang Muslim dengan sikap dan perilaku ibadah yang masih jauh dari sempurna, tapi saya berusaha menjadi lebih baik setiap hari demi keluarga, agama dan nusa bangsa, karena buat saya perjuangan adalah pelaksanaan dari kata-kata. Dan kita harus adil sejak dalam pemikiran, konsisten antara ucapan dan tindakan.

Saat tulisan ini Anda baca, saya masih terus merenung sambil membaca postingan di ratusan grup WA yang saya ikuti, tentang masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di tengah gempuran globalisasi yang bisa menyesatkan dan invasi nekolim neoliberalime yang mendisintegrasi bangsa. Serta prihatin atas nasib ratusan juta rakyat, yang pasti kian resah akibat kenaikan harga kebutuhan pokok yang menggila, berbagai perlakuan diskriminatif seperti tak kunjung ditahannya si penista agama Islam, dan berbagai upaya saling lapor saling sikat buka-bukaan antar kelompok kepentingan, termasuk juga rumours deras kencangnya fitnah dan kriminalisasi ke alim ulama.

Buat saya dan teman-teman terdekat, isu Pilkada 2017 tak menarik lagi, karena hanya menjadi ritual rotasi kekuasaan antar faksi elite, saling bergantian menikmati menjarah kue kekuasaan pembangunan, yang pada akhirnya selalu meminggirkan rakyat kian tak berdaya.

Izinkan saya akhiri renungan dinihari ini dengan sebuah kutipan favorit sejak lama, "All the power on earth can't change destiny," - Mario Puzo, Godfather. Takkan ada kekuasaan yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. GUSTI ALLAH mboten sare!***

Ricky Tamba (Juru Bicara Jaringan '98)

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini