Sepekan memimpin Amerika Serikat, Presiden Donald Trump mengumumkan langkah-langkah ekstrem untuk menjaga AS dari gangguan "teroris Islam radikal".
Kemarin, dia menandatangani perintah eksekutif yang salah satu poinnya melarang pengungsi Suriah masuk ke wilayah AS sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Trump menandatangani perintah eksekutif itu di Pentagon setelah upacara sumpah jabatan untuk James Mattis sebagai Menteri Pertahanan.
Trump, dalam sebuah wawancara, juga menyebut spesifik bahwa kaum penganut Kristen akan diberikan prioritas di antara para pengungsi Suriah yang ingin masuk ke AS.
"Saya membangun langkah-langkah baru untuk menjaga Amerika Serikat dari teroris Islam radikal. Kami hanya ingin memasukkan orang yang akan mendukung negara kita dan memiliki cinta mendalam pada orang-orang kita," ujar Trump dalam upacara pelantikan Menteri Pertahanan.
Isi dari perintah eksekutif itu dirilis beberapa jam setelah ditandatangani Trump. Butir-butirnya antara lain mengatur penundaan atas program penerimaan pengungsi selama 120 hari. Larangan masuk bagi pengungsi dari Suriah sampai ada "perubahan signifikan" yang dibuat.
Kemudian, memprioritaskan pengajuan status pengungsi dari mereka yang menjadi korban tindak penganiayaan berbasis agama, tetapi dengan catatan orang tersebut merupakan bagian dari agama minoritas di negara asalnya.
Perintah itu juga meminta semua program imigrasi harus mengevaluasi kemungkinan pemohon bisa memberikan kontribusi positif kepada masyarakat AS.
Seperti diberitakan BBC, penandatanganan perintah eksekutif itu dikritik keras oleh para politikus Partai Demokrat dan tokoh-tokoh HAM di AS.
Senator Demokrat, Kamala Harris, menegaskan bahwa peraturan itu adalah pelarangan bagi Muslim.
"Kita telah membuka pintu bagi orang-orang yang melarikan diri dari kekerasan dan penindasan selama puluhan tahun. Selama Holocaust, kita gagal untuk membiarkan pengungsi seperti Anne Frank ke negara kita. Kita tidak bisa membiarkan sejarah terulang," katanya.
Malala Yousafzai, remaja peraih Nobel Perdamaian yang pernah ditembak oleh Taliban, bahkan menyatakan bahwa dia merasa "patah hati" akibat peraturan rezim Trump.
"Hari ini Presiden Trump menutup pintu pada anak-anak, kaum ibu dan bapak yang melarikan diri dari kekerasan dan perang," katanya.
Pendiri Facebook, Mark Zuckerburg, mengatakan ia "prihatin" terhadap perintah eksekutif presiden AS, dan menegaskan bahwa ia sendiri, seperti banyak warga AS lainnya, adalah keturunan imigran.
"Masalah ini pribadi bagi saya, bahkan di luar dari persoalan keluarga saya," tulis Zuckerburg di akun facebooknya sendiri.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA