Para pengusaha mengeluhkan sejumlah kebijakan yang diterapkan oleh Perum Perindo karena dinilai sangat memberatkan dan menyulitkan mereka.
Salah seorang pelaku usaha Zulfahri Siagian mengatakan, ada beberapa permasalahan yang terjadi di Pelabuhan Perikanan Samudra Belawan (PPSB) sejak tahun 2015. Yang paling menonjol adalah soal kenaikan tarif yang mencapai 500 persen lebih dan tanpa meminta pendapat para pelaku usaha selaku stakeholder.
Dia menjelaskan, sebelumnya tarif yang berlaku selama ini di PPSB berdasarkan SK Direksi Perum Perindo No 221/2014. Untuk biaya hak pengelolaan (HPL) dan hak pakai (HP) yakni biaya pengembangan/ Develpoment Charge (DC) sebesar 0,65 persen dari NJOP yang berlaku /M2/tahun. Kemudian biaya Sumbangan Pemeliharaan Prasarana (SPP) sebesar 0,65 persen dari NJOP/M2/tahun dan biaya administrasi perolehan awal sewa tanah sebesar 1 persen dari NJOP yang berlaku per meter.
Sedangkan kenaikan tarif ditetapkan dalam SK Direksi Perum Perindo Nomor 063 tanggal 22 Maret 2016 tentang Penetapan Tarif Pelayanan Penggunaan Barang/Jasa yang dikelola Perum Perindo cabang Belawan. Penerbitan SK tersebut dinilainya tidak masuk akal dan dicurigai untuk menekan para pengusaha.
Dijelaskan, dalam aturan baru tersebut ditetapkan untuk biaya hak pengelolaan (HPL) dan hak pakai (HP) yakni biaya pengembangan/ Develpoment Charge (DC) sebesar 4 persen dari NJOP yang berlaku /M2/tahun. Kemudian biaya Sumbangan Pemeliharaan Prasarana (SPP) sebesar 2,5 persen dari NJOP/M2/tahun dan biaya administrasi perolehan awal sewa tanah sebesar 1 persen dari NJOP yang berlaku per meter.
Dia mencontohkan untuk sewa lahan misalnya, sebelumnya Rp4000 per meter menjadi Rp38 ribu per meter. Ironisnya, tarif tersebut berbeda dengan yang diterapkan Kementerian Kelautan Perikanan. Ada dua pengelola lahan di kawasan itu, yakni Perum Perindo dan Kementerian Kalautan Perikanan. Tarif yang diterapkan Kementerian Kelautan Perikanan hanya sekitar Rp5.500 per meter.
Selain itu, ada pula biaya kompensasi yang tidak ada dasar hukumnya dan diterapkan tanpa parameter yang jelas. Dia menambahkan, dengan adanya aturan baru tersebut tidak ada jaminan bagi pengusaha untuk berinvestasi di kawasan tersebut, karena kontrak yang baru sangat ketat dan sepihak.
"Kapanpun dia (perum,red) bisa ambil lahannya dalam masa waktu lima tahun. Kalau kita berusaha dengan modal Rp60 miliar, mana balik modal dalam waktu 5 tahun," imbuhnya.
Menurutnya apa yang diterapkan Perum Perindo ini tidak sejalan dengan Instruksi Presiden yang terncantum dalam Inpres tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan yang memerintahkan untuk mengevaluasi aturan yang menghambat investasi perikanan.
Oleh karena itu, dia meminta agar keberadaan Perum Perindo di PPSB dievaluasi bahkan dihapuskan karena tidak berperan dalam mendukung dunia usaha di kawasan itu. Hal senada disampaikan pelaku usaha lainnya Gultom yang meminta perum Perindo dibubarkan karena hanya memeras pengusaha.
"Ada kebijakan tidak tertulis yang terlalu banyak merugikan kami. Masalah uang kompensasi yang tidak diatur undang-undang dan tidak berlaku sama terhadap pengusaha, ada hubungan emosional. Kalau bagus hubungannya bisa murah tapi kalau gak bagus jadi mahal. Makanya kita bingung dengan manajemen Perum Perindo ini yang sesuka hati membuat aturan," ujarnya.
Dikatakan Gultom, uang SPP yang selama ini dikutip juga mengalami kenaikan setiap tahun. Padahal perusahaan tidak ada melakukan perbaikan maupun memelihara sarana prasarana di kawasan pelabuhan.
"Uang yang dikutip itu kemana, buat apa, karena tidak ada sarana prasarana yang diperbaiki. Infrastruktur jalan pihak pelabuhan yang membangun, begitu juga dengan kebersihan tidak ada sama sekali," ujarnya.
Sementara Ketua AP2GB RB Sihombing mengatakan, persoalan ini sebenarnya pernah terjadi pada tahun 2010 silam saat Perum perindo menaikkan tariff secara sepihak. Namun saat itu sudah disepakati bahwa apapun perubahan yang terjadi terkait sewa lahan akan dibicarakan dengan para pengusaha. Namun faktanya tidak, perusahaan tetap menaikkan tarif tanpa berkomunikasi dulu dengan pengusaha. Selain itu, ujar Gultom, dalam menaikkan tarif Perum Perindo mengacu pada pelabuhan lain di Indonesia.
"Ini tidak bisa disamakan. Muara Baru misalnya, itu dia dibangun dulu baru mengundang investor. Kalau ini, pengusaha dulu yang membangun baru perum dating mengutip uang. Dulu ini rawa-rawa, kita yang menimbun sampai jadi seperti ini, bukan Perum," jelasnya.
Menanggapi keterangan para pengusaha tersebut, Abyadi Siregar menilai kebijakan yang dibuat Perum Perindo tidak fair. Dia menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pasal 31, penyelenggara pelayanan publik tidak boleh menaikkan tarif secara sepihak.
"Ada penarikan tarif-tarif tanpa payung hkum. Biaya kompensasi misalnya, tidak ada standarnya, biayanya berbeda-beda. Harusnya ini dibicarakan dulu dengan para stakeholder terkait. Perum Perindo sebagai penyelenggara pelayanan public tidak boleh sewenang-wenang menaikkan tariff," ujarnya.[rgu]
KOMENTAR ANDA