Konflik antara ormas Front Pembela Islam (FPI) dengan ormas Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) adalah contoh kemacetan politik.
"Saya lebih cenderung melihat masalah konflik antar-ormas seperti FPI vs GMBI ini sebagai salah satu implikasi dari kemacetan politik elektoral di era reformasi," kata pengamat politik senior, Muhammad AS. Hikam seperti dikutip dari laman facebooknya, Rabu (18/1).
Menurutnya, karena kemacetan ini maka organisasi masyarakat sipil Indonesia (OMSI), seperti ormas dan LSM, cendekiawan, serta kelompok-kelompok profesional, menjadi wadah penyaluran kepentingan politik dari rakyat yang kian tidak percaya kepada DPR, parpol, dan politisi.
"Sayangnya OMSI kemudian menjadi terpolitisasi secara tidak sehat, sehingga perbedaan kepentingan pun menjadi sumber konflik. Ujungnya konflik seperti FPI vs GMBI bisa juga terjadi di daerah-daerah lain," ujar AS. Hikam.
Khusus untuk penyelesaian konflik FPI vs GMBI, Ia lebih mengusulkan solusi non politik dan bahkan non hukum, walaupun bisa juga proses hukum digunakan.
"Saya mengusulkan pendekatan budaya dan komunikasi sosial agar titik temu diupayakan dengan tujuan akhir menyudahi konflik secara damai," ungkapnya.
Untuk itu, lanjut AS. Hikam, peran pihak-pihak penengah alias mediator dan penegak hukum sangat penting. Mediator bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh atau ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan bahkan MUI kalau perlu. Dan penegak hukum seperti Polri ikut memberikan dukungan di dalam proses tersebut.
"Saya memilih alternatif ini ketimbang solusi hukum yang kendati baik, tetapi akan bertele-tele dan bahkan terbuka terhadap politisasi," tukasnya. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA