Kepala Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat Jenderal Kemendikbud, Dian Wahyuni, meluruskan pemberitaan beberapa media massa yang mengesankan, Peraturan Mendikbud Nomor 75 Tahun 2015 memberikan jalan bagi pihak sekolah melakukan pungutan.
Menurutnya, peraturan yang berlaku per 30 Desember 2016 itu sangat jelas. Bahwa pihak sekolah sama sekali tidak boleh melakukan pungutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12.
"Pasal itu sangat jelas, tidak boleh Komite Sekolah mengambil atau melakukan pungutan," kata Dian melalui keterangan tertulisnya.
Pasal 10, menyebutkan, Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lain, untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.
Penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lain oleh Komite Sekolah dilakukan dalam bentuk bantuan atau sumbangan sukarela.
Dengan kata lain, bukan dalam bentuk pungutan melalui keputusan Komite Sekolah yang besarannya ditentukan. Keseluruhan prosesnya dipertanggungjawabkan secara transparan.
Sementara pada Pasal 11 dan Pasal 12, ditekankan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lain tidak diperbolehkan bersumber dari perusahaan rokok, perusahaan beralkohol dan partai politik.
"Komite Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif sangat tegas dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya," jelas Dian.
Dia menilai, kritik publik karena publik belum membaca peraturannya secara utuh. "Ini mungkin karena masyarakat belum baca secara menyeluruh, secara detil. Permendikbud tersebut tidak keluar dari fungsi dan esensi Komite Sekolah, yakni sebagai mitra sekolah," sambungnya.
Menurut dia, publik merespons kehadiran Komite Sekolah secara pro dan kontra karena kurang paham. Kemendikbud segera menggencarkan sosialisasi agar orang tua siswa paham.
Nah, khalayak pengguna media sosial Twitter dan Facebook kritis merespons topik tersebut.
Banyak netizen menyayangkan pemerintah membolehkan pihak sekolah menerima sumbangan orang tua murid atau pihak lain.
D i antaranya , akun @ Sahuddin25 menilai, anggaran pendidikan pada APBN di antara yang terbesar. Seharusnya pihak sekolah tidak lagi membebani orang tua murid.
"Pungutan buat apa lagi? Postur anggaran pendidikan dalam APBN sudah 20 persen. Yang jadi korban tetap aja orang tua siswanya pak," cuitnya.
Akun@YunusLel mengungkapkan, praktik pungutan masih terjadi di sekolah anaknya. "Di Riau tempat anak ku sekolah diminta Rp 1 juta buat uang kelulusan, terus harus gimana ya," keluhnya.
Akun @nancyokta meminta Mendikbud aktif menelusuri sekolah-sekolah yang meminta pungutan. Karena banyak sekolah melakukannya, "Inspeksi mendadak aja ke sana pak menteri. Tapi jangan bilang-bilang mau sidak. Masih banyak kok sekolah yang minta sumbangan atau pungutan."
Akun @kmgekadian menilai, peraturan yang melarang pihak sekolah meminta pungutan, tapi membolehkan menerima sumbangan, merupakan peraturan gamang. Bahkan, pihak sekolah bisa memanfaatkan pembolehan sumbangan menjadi pungutan. "Ada kecualinya juga ya, ok di situ celahnya," sindirnya.
Akun @PerwiraDuta menyampaikan hal senada. Menurut dia, sumbangan sukarela sama saja dengan pungutan.
"Kalau tetap sukarela, itu namanya pungutan (pungutan abu-abu), sekalian aja buat tarif yang jelas," cibirnya.
Topik itu juga ramai dibahas netizen di jejaring sosial Facebook. Di antaranya, pemilik akun Dian Prihantoro meminta Kemendikbud membuat aturan yang tegas terkait pungutan dan sumbangan. "Boleh atau nggak nih? Yang tegas dong aturannya," desaknya.
Akun Yingluck Shinawatra menanyakan penggunaan dana sumbangan oleh pihak sekolah.
"Uang sumbangan yang dikumpulkan dari orang tua murid untuk siapa? Apa dibagi bagi-bagikan kepada orang Kemendikbud, kepala sekolah dan guru guru?" tanya.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA