post image
KOMENTAR
Timbulnya berbagai persoalan terkait hak guna usaha (HGU) perkebunan di Sumatera Utara (Sumut) sejak zaman pemerintahan Soeharto, saat ini terasa semakin membebani pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Pemicunya antara lain, karena sejak awal seolah sengaja dipelihara atau tidak diurus secara benar, baik oleh perusahaan perkebunan milik negara, pemerintah daerah (Pemda) kabupaten/kota maupun provinsi hingga terkesan pembiaran itu sengja dilakukan agar pemerintah pusat kelabakan.

Sementara titik-titik konflik yang berakar dari hal itu sudah memenuhi meja konflik di Kementerian Agraria Tata Ruang/BPN baik ditingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota dimasa sekarang.

Pernyaaan itu ditegaskan Ketua Pendiri Cinta Tanah Sumatera (CTS) Iskandar Sitorus kepada sejumlah wartawan di Medan, Senin (16/1/2017).

"Terpampang sangat banyak bangunan komersial seperti hotel, perumahan mewah, perkantoran, bahkan aset Pemda, pabrik maupun rumah toko di kota Medan, Binjai dan Deli Serdang yang sebenarnya bermasalah tetapi bisa dengan mudah dibangun layaknya bangunan resmi. Padahal tanah tempat bangunan itu berdiri masih penuh masalah terkait dengan HGU," urai Iskandar Sitorus,

Diungkapkannya juga, terkuak nyaris ratusan sertifikat hak milik (SHM) bermunculan secara melawan hukum, paling segelintir pemohon SHM yang terperangkap mendapat surat keperdataan palsu atau yang tidak seharusnya dari penjual tanah yang nakal. Intinya, teramat banyak SHM terbit karena konspirasi mafia tanah, tambah pria pecinta tanaman keras itu.

Ayah dua anak itu meneruskan, perusahaan milik negara yang dikenal dengan BUMN perkebunan di Sumut dengan semarak membagi-bagikan HGU yang berasal dari negara yang seharusnya dikelola mereka demi keuntungan negara supaya rakyat sejahtera, kepada BUMN lain seperti PT Angkasa Pura (Persero) menjadi bandara maupun pergudangan, Polri dan TNI dengan alas keterangan surat pinjam pakai lahan. Nyaris semua orang bijak tahu bahwa modus itu nantinya akan berakhir dengan berkurangnya luasan HGU.

"Beberapa Direksi BUMN yang seharusnya mengelola HGU dengan baik malah sudah terbukti dijatuhi hukuman penjara karena justru memperjual-belikan dan atau melepaskan HGU itu kepada  yang tidak berhak demi keuntungannya dan memperkaya mafia tanah," bebernya.

Iskandar juga mempersoalkan perilaku Pemprov Sumut yang seperti memiliki kewenangan menata kelola pertanahan, tapi malah ikut meruncingkan suasana.

"Mereka tidak seharusnya mencampuri tapi malah getol sekali seperti mampu. Pemda Kabupaten/Kota yang kerap diuntungkan jika tanah negara dilepaskan pemerintah pusat kepada daerah malah berdiam diri. Jikapun melakukan tugasnya malah hanya untuk memikirkan kepentingan kelompoknya, bukan untuk rakyat" cetusnya.

Pria beristrikan puteri Melayu dari Tanjungmorawa itu mengurai, akibat berbagai hal negatif yang dipertontonkan BUMN pemegang HGU berkolaborasi dengan mafia yang dibiarkan Pemda dan aparat hukum maka secara massif sejak 1995 sampai hari ini mulailah rakyat menunjukkan sikapnya untuk menentang Kesewenangan itu.

"Mereka menggarap lahan HGU yang berada persis dipinggiran jalan-jalan yang terbuka di wilayah kota Medan, Binjai dan kabupaten Deli Serdang yang harus diperluas karena pertumbuhan penduduk. Justru, perkembangan tiga wilayah itu dijustifikasi sebagai bahagian dari kehidupan penduduk kedalam Perda tentang Tata Ruang" sebutnya.

"Rakyat semakin cerdas, tidak mau dipecundangi oleh BUMN yang sudah puluhan tahun menikmati HGU namun dalam perjalananya malah melepaskan HGU itu dengan cara-cara kotor kepada mafia tanah layaknya beberapa bangunan mal di kota Medan selama ini. Rakyat terlihat antusias menjalankan sendiri upayanya menikmati tanah negara dengan cara menggarap HGU yang sesungguhnya sudah tidak pas berlokasi di perluasan kota. Mereka bertani, berkebun dan membangun rumah bahkan berbisnis dengan mendirikan sentra perekonomian. Walau ada gesekan diantara mereka namun mereka bisa menuntaskannya dengan berbagai cara" ujar Iskandar.

Sehingga, lanjutnya, rakyat yang tidak sempat menggarap mulai melek melihat perkembangan harapan itu dan secara hukum perdata mulai mengapresiasi tanah garapan itu. Si penggarap yang tadinya sangat papa mulai menikmati hasil keringat nya dari tanah negara itu. Semua layaknya BUMN perkebunan yang selama ini menikmati tanah negara yang dinamakan HGU tersebut.

Di fase penggarapan inilah terlihat wakil-wakil rakyat berdasar wilayah mulai menunjukkan keberpihakan. Itupun karena DPRD kerap didemo saat rakyat meminta dukungan karena ada persoalan dilapangan. Rakyat mendorong wakilnya agar secara formal mendesak pemerintah pusat melepaskan sebagian kecil dari HGU itu kepada masyarakat untuk perluasan tempat hidup sebab BUMN sendiri terbukti rajin melepaskan sebagian dari HGU nya kepada korporasi.

"Disinilah terlihat dengan kasat mata siapa sesungguhnya yang membuat HGU itu menjadi lebih baik atau yang membuatnya menjadi merugikan negara. Rakyat atau siapa kelihatan bukan?" Tanyanya lugas.

Saat dikelola BUMN perkebunan, lanjutnya, apakah mereka rajin membayar PBB tanah? Beda dengan rakyat yang antusias mau membiarkan SPPT PBB garapannya. Saat dikelola BUMN PTPN entah itu PTPN IX, II dan atau Holding sekarang, apakah mereka mau memikirkan bahwa HGU diperbatasan perkotaan sebaiknya dilepaskan kepada rakyat agar tidak terjadi penggarapan yang tidak teratur? Mereka tidak pernah terbersit memikirkan itu.

Malah, beberapa oknum BUMN PTPN sampai hari ini masih ikut menjustifikasi 'penggarapan berdasi', yakni justru mereka memperalat rakyat untuk menggarap beberapa saat lalu menjualkannya kepada pengusaha. Lihat saja disekitaran bandara Kuala Namu dan persimpangan-persimpangan pintu tol dari mulai Binjai sampai Deli Serdang. Termasuk HGU yang sudah dibangun jadi perumahan maupun ratusan rumah toko. Disitu kelompok oknum tersebut bermain, tutur pria berdarah Tapanuli kelahiran kota Palembang itu.

"Baru saja kemarin sore, Minggu 15/1/2017, kami bertemu dengan pak Wagirin Arman, Ketua DPRD Provinsi Sumut yang kami tahu sejak di DPRD Deli Serdang dahulu pro kepada masyarakat penggarap, CTS mendesak DPRD agar tangkas memformulasikan persoalan HGU supaya tidak menjadi laten membuat lambat program pembangunan Presiden Joko Widodo. Kami bangga pak Wagirin malah menyatakan bahwa beliau sudah sampai memperjuangkannya ke Ketua DPR RI supaya Presiden segera melahirkan Keputusan pelepasan HGU itu kepada penggarap yang beritikat baik. Bukan kepada mafia tanah," ungkapnya.

Untuk itu, sambung Iskandar, dalam waktu dekat CTS akan menggulirkan program inventarisir penggarap yang beritikat baik sebagai bukti dukungan kepada pemerintah pusat melalui Kanwil Kementerian ATR/BPN provinsi Sumut bahwa tidak semua yang menggarap HGU itu adalah masyarakat yang jahat.

"Mereka hanya ingin meningkatkan kualitas hidupnya disaat melihat ada perilaku menyimpang melepaskan tanah negara oleh penguasa baik dari Pemda maupun BUMN itu sendiri sehingga hanya dinikmati segelintir mafia yang sudah kaya raya," tudingnya.

CTS juga berharap melalui Panja Penegakan Hukum Komisi III DPR RI bisa terbentuk Panitia Khusus antar Komisi II, III dan VI agar bisa secara tuntas menyelesaikan seluruh permasalahan di atas HGU dengan kesetaraan didepan hukum sehingga bisa menegakkan keadilan.

"Itu semua kami sampaikan agar model penuntasan persoalan yang terjadi saat ini bisa jernih dilakukan menggunakan model 'Tata Kelola Persoalan Diatas HGU PTPN II Dan Atau Eks HGU PTPN II Dengan Model Izin Penggunaan Lahan Yang Bisa Dicatatkan PTPN II (Atau Pihak Berwenang Setelahnya/Lainnya) Sebagai Sesuatu Pendapatan Lain-Lain Yang Bersifat Non Operasional' yang sudah diusulkan CTS kepada ibu Menteri BUMN tahun lalu," demikian Iskandar.[rgu]

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini