Pemerintah akan mengevaluasi kebijakan bebas visa. Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Asnawi Bahar meminta, kebijakan tersebut tidak dicabut. Karena, selama ini membantu meningkatkan daya tarik wisatawan datang ke Indonesia.
"Setelah ada kebijakan bebas visa, jumlah wisatawan meningkat. Jangan karena banyaknya tenaga kerja asing (TKA) ilegal lalu kemudian mengkambinghitamkan kebijakan bebas visa," kata Asnawi kepada Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.
Dia mengatakan, masalah TKA ilegal versus kebijakan bebas visa sama seperti masalah tikus di lumbung padi. Jangan untuk membersihkan tikus, jangan lumbung padinya dibakar. Nah, untuk masalah TKA ilegal, jangan kebijakan bebas visanya yang dicabut.
Menurutnya, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk meminimalisir penyalagunaan bebas visa. Antara lain, memberlakukan tiket pulang pergi bagi wisatawan mancanegara. Kemudian, bebas visa tersebut harus dibatasi masa waktunya dengan jelas. Turis yang tidak kembali ke negaranya harus diberikan sanksi tegas.
Selain itu, pemerintah juga harus mewajibkan wisatawan yang datang rombongan harus dipastikan menggunakan jasa biro perjalanan dari Indonesia bukan dari negara asal. Dengan demikian pemerintah semakin mudah melakukan kontrol.
Saat ditanya dugaan TKA ilegal China, Asnawi mengakui, wisatawan asal Negeri Tirai Bambu paling banyak datang ke Indonesia. Per hari kedatangannya kini mencapai 5 ribu orang. Namun demikian, ditegaskannya, jumlah itu tidak seberapa bila dibandingkan ke negara lain.
"Secara umum di tahun ini (2016) ada 120 juta wisatawan China melakukan perjalanan wisata ke berbagai negara. Dan, yang datang ke Indonesia hanya 2 juta orang. Soal TKA ilegal, itu tinggal bagaimana pencegahannya saja," tuturnya.
Wakil Ketua Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Rudiana mengaku tidak masalah kebijakan bebas visa dievaluasi. "Kita juga tidak mau bebas visa justru dimanfaatkan untuk masuknya TKA ilegal. Jadi memang harus dievaluasi," katanya.
Rudi mengatakan, selain soal kerugian dan keuntungan, kebijakan bebas visa harus dikaji dari sisi kepantasan. Misalnya, pemerintah memberikan kebijakan bebas visa kepada China. Sementara, negara itu sendiri tidak memberikan bebas visa kepada wisatawan Indonesia. Apakah itu pantas?
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyampaikan beberapa hal yang patut dijadikan pertimbangan di dalam melakukan evaluasi. Antara lain, pertama, kemanfaatan.
Menurutnya, kebijakan bebas visa sejatinya untuk mengerek jumlah wisatawan. Tetapi bila negara yang diberikan fasilitas tersebut melakukan pelanggaran harus dievaluasi.
"Negara yang melakukan pelanggaran, seperti China memanfaatkan untuk masukan TKA ilegal, harus dimoratorium," usulnya.
Kedua, melihat kondisi perekonomian. Negara yang menurut gross domestic product (GDP) masyarakatnya tidak meyakinkan untuk berwisata ke Indonesia, harus dievaluasi.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA