post image
KOMENTAR
Keberadaan presidential threshold dan parliamentary threshold menjadikan demokrasi Indonesia berlawanan dengan konstitusi.

Demikian dikatakan pakar tata negara, Margarito Kamis, dalam diskusi "RUU Pemilu dan Pertaruhan Demokrasi", di Cikini, Jakarta, Sabtu (14/1). .

Margarito menegaskan, jika mengacu pada konstitusi RI maka Pilpres tidak boleh dibatasi hanya bisa diikuti partai tertentu. Hal itu sudah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi lewat putusan yang mewajibkan Pileg dan Pilpres dilaksanakan serentak pada 2019 dan seterusnya.

"Menurut konstitusi, pemilu adalah memilih anggota DPR dan memilih presiden. Semua peserta pemilu harus ikut Pileg dan Pilpres, demi hukum dan demi konstitusi. Konsekuensinya, tidak ada threshold," jelasnya.

Margarito pun menekankan pembentukan fraksi di parlemen tidak bisa menjadi dasar alasan dibutuhkannya parliamentary threshold.

"Tidak ada dasar pembentukan fraksi itu menurut konstitusi. Kalau pembentukan fraksi menjadi dasar parliamenteray threshod, itu kekeliruan," jelasnya.

Bahkan, setiap partai peserta pemilu berhak memasukkan calon legislatornya ke parlemen meskipun partai itu hanya mendapatkan satu kursi.

"Meskipun cuma satu kursi, dia harus disertakan di parlemen," tegasnya.

Berkaitan dengan itu, Margarito mengatakan, keberadaan Mahkamah Konstitusi bukan sekadar untuk mengoreksi UU yang dibuat DPR, tetapi juga untuk melawan "tirani mayoritas". Hal ini terbukti lewat keputusan MK yang berdampak pada penghapusan parliamentary threshold dan presidential threshold.

"MK adalah alat konstitusional bagi kelompok-kelompok politik minoritas untuk mengoreksi tirani mayoritas," ujarnya. [hta/rmol]

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa