post image
KOMENTAR
MBC.  Pakar filsafat dan logika Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia Rocky Gerung berusaha mendekati hoax atau kabar tidak benar dari sisi yang berbeda.

Menurut Rocky Gerung, hoax bisa dilihat sebagai tanda-tanda protes yang menawarkan optismisme.

"Ada protes pertanda ada alternatif. Ada alternatif pertanda tak ada pesimisme," demikian salah satu twit Rocky hari Senin kemarin (2/1).

Secara umum, demikian disimpulkan dari serangkaian twitnya, ada dua pelaku hoax, yakni penguasa atau pemerintah, dan rakyat.

Penguasa membuat hoax demi keperluan berhias. Sementara hoax dari rakyat sinyal kuat ketidakpercayaan pada penguasa.

"Pelaku utama hoax adalah penguasa. Perlu untuk berhias. Hal yang biasa… Kalo hoax itu dari rakyat, artinya ada yang gak percaya lipstik penguasa," kata pria kelahiran Manado ini dalam dua twit yang terpisah.

Dia juga mengingatkan bahwa hoax adalah mekanisme sibernetika politik dan bagus untuk demokrasi. Pemerintah yang paranoid akan menjadi mainan brain trust mutakhir. Hoax pun akan tumbuh subur bila pemerintah reaksioner dan tak punya sistem evalusi opini publik.

Dari dua pelaku hoax tadi, masih menurut Rocky, yang memiliki kemampuan paling dahsyat dalam memproduksi hoax adalah penguasa.

"Hoax terbaik adalah hoax versi penguasa. Peralatan mereka lengkap: statistik, intelijen, editor, panggung, media, Lu tambah sendiri deh," ujar Rocky.

"Hoax itu bohong yg dibuat masuk akal. Tapi hanya efektif mempengaruhi massa bila anda menguasai media massa. Hanya penguasa yang mampu," kata dia lagi.

Serangkaian twit Rocky Gerung disambut dengan beragam pendapat. Ada yang mendukungnya, tetapi tak sedikit juga yang mengecamnya.

"Gile bener. Gue ngetuit versi dekonstruksi dari hoax. Cuman twit seupil, caci-makinya segerobak. Ini para pemuja negara makin buta. Absurd!" twit Rocky Gerung lagi.

"Apa musti diterangin bahwa para nabi dulu dianggap penyebar hoax? Sains dan seni juga banyak hoax. Tapi kan ada metode filter. Bukan ngamuk," sambungnya.

Menurut Rocky, sikap kritis terhadap kekuasaan sama dengan sikap kritis terhadap semua ortodoksi: patriarki, kampus, agama, kultur. Sayangnya, sikap kritis itu kini luntur. [hta/rmol]

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa