SAYA kira sudah menjadi pengetahuan umum bahwa almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab dengan panggilan Gus Dur (GD) adalah sosok pemimpin yang memiliki karakter pluralis dan humanis. Karena karakter tersebut maka Presiden keempat RI itu mendapat tempat yang sangat terhormat di seluruh kalangan atau kelompok yang ada di negeri ini, terlepas dari apapun latar belakang identitas mereka. Tak salah apabila GD dikenang dan diabadikan namanya sebagai Bapak Pluralisme Indonesia dan seorang pemimpin yang humanis.
Dalam kaitan dengan karakter pluralis ini, salah satu yang paling mencolok adalah bagaimana GD menyikapi keberadaan etnis Tionghoa atau China di Indonesia yang acapkali dipersepsikan dan diposisikan secara diskriminatif dan antagonistik vis-a-vis kelompok yang disebut dengan pribumi atau bumiputra. Bahkan ketika negeri ini telah merdeka dan menggunakan landasan falsafah negara Pancasila serta Konstitusi UUD 1945, yang notabene tidak mengakui diskrimasi rasial, etnisitas, agama, dan identias primordial lainnya, praktik diskriminasi itu tetap ada dan sering muncul dalam bentuknya yang paling vulgar.
Menjadi dan "mengada" sebagai Cina di negeri ini memiliki makna yang tidak selalu positif, bahkan mungkin lebih sering negatif ketika dikaitkan dengan persoalan ekonomi, agama, ideologi, dan apa yang disebut dengan nasionalisme. Tanpa berpretensi untuk menggebyah-uyah, saya kira strereotipe negatif terhadap etnik China di masyarakat kita cenderung belum menghilang sepenuhnya. Penerimaan bahwa etnis tersebut sejatinya memiliki posisi yang sama sebagai bagian dari entitas kebangsaan Indonesia, kadangkala masih semu dan tidak jujur. Trauma sejarah masa lalu dan fakta kesenjangan ekonomi masa kini, biasanya sangat berperan dalam pengabadian stereotipe negatif tersebut.
Almarhum GD sangat menyadari bahwa persoalan relasi China dan pribumi di negeri ini sangatlah kompleks karena dimensinya juga sangat kompleks. Karena itulah, saya kira, beliau menyikapi persoalan ini dengan sangat khusus dan 'total' sehingga beliau tak ragu-ragu memilih 'mencemplungkan' diri beliau di dalamnya. Salah satu buktinya yang sudah banyak diketahui publik adalah pengakuan beliau bahwa dirinya memiliki hubungan darah dan silsilah atau keturunan dengan bangsa China.
GD dalam berbagai kesempatan ceramah, baik dalam komunitas China, pesantren, ruang publik umum, dan lain-lain, seringkali mengatakan bahwa beliau adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak yang aslinya bernama Tan Eng Hwa. GD yakin bahwa mereka ini anak dari seorang putri Tiongkok yang menjadi selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri, masih kata GD, berdasarkan pendapat sejarawan dan peneliti Perancis, Louis-Charles Damais, diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan, Jawa Timur.
Sejauhmanakah kebenaran klaim sejarah yang dikemukakan GD, tampaknya masih perlu diteliti lebih jauh otentitasnya. Namun saya kira poinnya bukan di situ. Poinnya adalah bagaimana kita memahami upaya GD "meleburkan diri" dalam kancah wacana dan praksis kemasyarakatan yang sangat sensitif dan rumit bernama relasi antara etnis China dan pribumi yang suka atau tidak suka telah, sedang, dan akan selalu mewarnai kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan kita.
Jika ditilik melalui perspektif peradaban dunia, maka pengaruh peradaban dan sejarah bangsa Cina juga sangat besar dan kuat terhadap berbagai bangsa di Asia termasuk Indonesia. Di Asia Tenggara, bangsa-bangsa seperti Filipina dan Thailand telah mampu "menyelesaikan" persoalan relasi etnis tersebut dalam kehidupan kebangsaan mereka, dan bangsa-bangsa seperti Malaysia, Vietnam, dan Myanmar pun telah berusaha menuju ke arah tersebut.
Pendekatan GD bukanlah pendekatan politik dan legalistik atau ekonomistik belaka, tetapi budaya. Mengapa demikian? Karena pendekatan ini memiliki jangkauan yang lebih jauh dan mendalam bagi keberadaan kita sebagai bangsa yang majemuk. Melalui pendekatan budaya maka kepentingan-kepentingan jangka pendek tidak lagi dikedepankan, dan konflik-konflik yang muncul bisa diupayakan resolusinya secara lebih damai dan bukan menggunakan parameter untung-rugi kepentingan kelompok. Dengan pendekatan budaya akan dapat diminimalisasi egosentrisme dan generalisasi yang akan memecah belah. Sebab ternyata dalam wacana etnisitas China ada dinamika-dinamika yang tak berbeda dengan yang dialami etnis Jawa dan lain-lain, misalnya, fakta bahwa agama Islam merupakan agama sebagian dari mereka semua. Dengan pendekatan budaya maka klaim-klaim seperti otentisitas dan sektarianisme kepribumian juga bisa dilunakkan karena disadari adanya asimilasi dan akulturasi budaya dari semua etnis di negeri ini.
Jika menengok dan belajar serta mencermati cara GD, maka ketika saat ini kita kembali dipanaskan dengan isu-isu terkait dengan China, tentunya kita akan mampu memilah dan memilih serta bersikap waspada. Jangan sampai isu-isu tersebut akan menjadi bahan yang bisa dieksploitasi untuk memecahbelah kebangsaan kita yang berkarakter majemuk tersebut. Apa yang diwacanakan GD mengenai diri beliau dan relasinya dengan silsilah China bisa dimaknai sebagai sebuah metafora bahwa diri kita sebagai bangsa terdiri dari berbagai elemen. Dan etnis China adalah salah satunya.***
Penulias adalah pakar politik senior
KOMENTAR ANDA