post image
KOMENTAR
Konflik pertanahan di atas Hak Guna Usaha (HGU) dan eks HGU PTPN II semakin berwarna pasca resmi berakuisisi dengan PTPN III.

Sayangnya, konflik pertanahan di atas lahan berlabel  HGU yang sudah lahir sejak perusahaan itu belum menjadi anak usahanya, sekarang justru telah memberi pengaruh negatif terhadap kinerja PTPN III sampai akhir tahun ini.

"Intinya, jangan sampai laporan keuangan PTPN III yang menyebut hampir 700 miliar digunakan untuk "mensubsidi" anaknya tersebut terulang, minimal bisa dieliminir di tahun 2017," tutur OK Adjerinsyah, Direktur Eksekutif Cinta Tanah Sumatera (CTS) kepada wartawan di Medan, Rabu (28/12).

Karena itu, lanjutnya, saat ini adalah momen yang ideal jikalau Direksi PTPN III hendak menuntaskan seluruh persoalan pertanahan di atas lahan HGU tersebut. Jangan sebaliknya, malah proses pelepasan tanah HGU PTPN II yang kabarnya mengikutsertakan Gubernur Sumut (Gubsu) sebagai pemerintah daerah yang sebenarnya tidak memiliki kewenangan, malah memicu kekisruhan baru.

CTS yang dikenal mengusung ide penuntasan konflik HGU PTPN II dengan model "Tata Kelola Persoalan Diatas HGU PTPN II Dan Atau Eks HGU PTPN II Dengan Model Izin Penggunaan Lahan Yang Bisa Dicatatkan PTPN II (Atau Pihak Berwenang Setelahnya/Lainnya) Sebagai Sesuatu Pendapatan Lain-Lain Yang Bersifat Non Operasional", menyatakan, Gubsu yang tidak memiliki kompetensi untuk mengatur pertanahan, namun kalaupun hendak 'cawe-cawe' maka pekerjaan inventarisir yang dilakukannya jangan malah berjalan sendiri. Kementerian Agrarian dan Tata Ruang/BPN tetap harus menjadi rujukan dari setiap langkah Gubsu.

"Direksi PTPN III jangan sampai menganggap remeh persoalan HGU itu sebab Panitia Kerja (Panja) Penegakan Hukum Komisi III DPR RI yang juga sudah mulai memproses seluruh persoalan hukum yang timbul, sedang berupaya untuk menemukan formulasi kesetaraan hukum bagi seluruh pihak yang terkait HGU yang dikeluarkan dari pengelolaan PTPN II itu" tegasnya.

"Belum lagi bahwa sebelumnya DPR RI sudah pernah mengeluarkan rekomendasi terkait HGU tersebut. tentu hal-hal itu tidak bisa disepelekan Direksi PTPN III" imbuhnya.

Dikatakan Adjerinsyah lagi, agar rencana pelepasan lahan eks HGU PTPN II yang diprediksi seluas 5.873,06 hektar itu bisa maksimal direalisasikan, sudah barang tentu harus dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku dengan mengedepankan kesetaraan hukum. Jangan sampai tidak adil, tidak setara didepan hukum.

"Kami harus sampaikan demikian karena sekarang terdeteksi telah terjadi penyimpangan yang diduga dilakukan oleh pemerintah daerah semenjak Menteri BUMN menyurati Gubsu pada tanggal 14 Januari 2015. Surat yang perihalnya penyelesaian masalah areal HGU PTPN II, yang isinya minta dukungan Gubsu untuk memastikan bahwa daftar nominatif penerima lahan eks HGU PTPN II  adalah yang benar-benar akan diberikan pada yang berhak, patut untuk dipertanyakan" tukasnya.

Sebab, sambungnya, Gubsu menginventarisir sama sekali, tidak sedari awal menjadikan BPN Provinsi Sumut sebagai garda terdepan terkait surat itu.

"Ini harus diwaspadai Kakanwil ATR/BPN Sumut, sebab jangan sampai mereka lagi yang akan dipermasalahkan jikalau kinerja Gubsu tidak adil," tandasnya.

"Jangan nanti alokasi tanah negara itu malah jumlah terluasnya didapatkan oleh jaringan atau teman-teman Gubsu dan atau kelompok kaya yang serakah dengan "menumpang" kebijakan Menteri BUMN tersebut" tuturnya kembali.

Karena itu, Adjeriansyah mengajak Kakanwil Kementerian ATR/BPN Provinsi Sumut agar ekstra hati-hati karena publik sudah tahu bahwa sekitar 50% konflik tanah di Sumut, khususnya Langkat, Binjai, Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Medan adalah sengketa di atas areal lahan 5.873,06 hektar tetsebut. Jangan sampai Kakanwil dikecoh Gubsu maupun dipermainkan oleh unsur dari anak buahnya sendiri.

Ribuan hektar lahan HGU yang sudah tidak diperpanjang oleh negara melalui Kementerian ATR/BPN sejak tahun 2002, namun sampai sekarang masih tidak bisa disertifikatkan warga karena Menteri BUMN selaku pemegang saham belum ada memberikan ijin prinsip untuk pelepasannyal untuk dikeluarkan Menkeu dari daftar aset negara malah menjadi beban yang menciderai Kementerian ATR/BPN.

"Kami rekomendasikan kepada Kakanwil Kementerian ATR/BPN Provinsi Sumut untuk memberikan masukan baru kepada Menteri ATR/BPN  BPN bahwa terbitnya SK No.42,43 dan 44/HGU/BPN/2002 dan No.10/HGU/BPN/2004 yang didalamnya disebutkan bahwa penyerahan pengaturan penguasaan, kepemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah HGU tersebut kepada Gubernur Sumatera Utara untuk diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku setelah memperoleh ijin pelepasan aset dari Menteri BUMN, perlu dipantau dengan teliti. Jangan sampai nasehat orang tua dahulu, orang yang makan nangka, namun BPN terkena getahnya sampai terjadi," ujarnya.

Karena, selain dari dugaan kami itu, terbukti bahwasanya bagi jajaran Direksi PTPN II SK 42,43 dan 44 kerap disebut menimbulkan potensi konflik. Dalih mereka menyatakan itu karena lahan yang diserahkan PTPN II untuk pembangunan bandara Kualanamu pada tahun 1996 seluas 655,83 hektar namun kemudian dalam SK tersebut BPN malah memperpanjang HGU-nya, padahal lahannya berubah fungsi.

Dikatakannya lagi, mereka juga sebut bahwa ada ratusan hektar lahan PTPN II yang masih berproduksi namun tidak diperpanjang HGU-nya oleh BPN. Keberatan mereka lainnya adalah, ada rumah dinas manajer, kantor, klinik yang tidak diperpanjang HGU nya.

Belum lagi bahwa publik melihat terkait angka luas areal yang hendak dilepas itu, ternyata ada 3 versi.

Pertama, tentang luas yang harus dilepas sesuai hasil kajian tim B Plus adalah 5.873,06 hektar. Itu berbeda dengan versi kedua berdasar hasil survey Tim Pemasangan Patok Pilar tahun 2012-2013 yang beranggotakan BPN Sumut, BPN Kabupaten, Pemprov, Pemkab dan PTPN, yang menyatakan bahwa lahan yang harus dilepas hanya 5.629,31 hektar.

Versi ketiga adalah hasil kajian Kejaksaan Agung, yang diminta oleh PTPN II, selaku pengacara negara sesuai Pendapat Hukum No.B-014/G/GPH.1/01/2014, tanggal 23 Januari 2014, dinyatakan bahwa lahan yang harus dilepas malah sebesar 6.402,5 hektar.

"Itu alasan kami sehingga merasa perlu untuk memberikan masukan kepada Kakanwil Kementerian ATR/BPN agar terus-menerus teliti sebab bagaimana pun hasil akhir penanganan HGU PTPN II tentu akan mempertaruhkan reputasi BPN itu sendiri," tutupnya.[rgu]

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Opini