Dalam beberapa tahun terakhir ini, fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak menggambarkan posisi MUI yang sesungguhnya sebagai ormas Islam yang menebarkan kerukunan dan konstruktif menjaga persatuan dan kesatuan.
"MUI lebih gemar berpolitik dalam bentuk menebarkan pengaruh politik di ruang publik dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti fatwa penyesatan golongan tertentu yang kemudian memaksa negara untuk turut serta menyesatkan kelompok tertentu sebagaimana kehendak MUI," kata Ketua Setara Institute, Hendardi, dalam keterangan beberapa saat lalu (Selasa, 20/12).
Menurut Hendardi, MUI juga berpolitik dalam memfatwakan pernyataan Basuki Tjahaja Purnama. Terakhir memfatwakan perihal atribut natal.
"Fatwa-fatwa tersebut bukan semata-mata ditujukan untuk memerankan ormas ini sebagai pihak yang merasa paling benar, tetapi lebih ditujukan untuk memberikan pengaruh politik di ruang publik, dengan benefit politik berbentuk penguatan supremasi paham keagamaan di ruang publik," ungkap Hendardi.
Patut diingat, tegas Hendardi, MUI adalah organisasi masyarakat yang sama seperti NU, Muhammadiyah, Kontras, LBH dan lain-lain yang hanya mempunyai mandat sesuai tujuan pembentukan ormas tersebut. MUI bukan bagian dari pihak yang menjalankan otoritas negara atau sebagai pemegang otoritas kebenaran.
Tetapi belakangan, lanjutnya, apa yang terjadi adalah bahwa MUI telah menjadi produsen fatwa yang seringkali berdampak destruktif bagi kemajemukan bangsa dan negara hukum Indonesia. Apalagi MUI tidak pernah menghitung dan mengantisipasi dampak dari fatwa yang dikeluarkannya.
"GNPF MUI kemudian merasa dirinya menjadi pengawal fatwa yang dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum. Jika bertanggung jawab, maka seharusnya MUI tidak tinggal diam atas aksi destruktif yang timbul setelah fatwa dikeluarkan," demikian Hendardi.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA