Berbagai pertanda jelas memperlihatkan nilai-nilai keindonesiaan kita, termasuk semboyan kebangsaan "Bhinneka Tunggal Ika", terus menerus digerus. Pengamatan itulah yang memicu hampir 300 antropolog dari seluruh Indonesia menyatakan Darurat Ke-Indonesia-an. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 –yang kemudian dipelihara oleh konstitusi dan Pancasila. Indonesia merupakan rumah bersama dari keragaman agama, ras, etnis, gender, kepercayaan, keyakinan, kelas sosial, dan sudut pandang. Indonesia bukan hanya yakin tapi juga bangga dengan Bhinneka Tunggal Ika: berbeda-beda tapi satu.
Namun beberapa peristiwa belakangan memperlihatkan adanya kelompok-kelompok yang mempertajam perbedaan dengan melakukan politik identitas. Sering terlihat upaya yang justru menegaskan perbedaan, menarik garis batas antara yang satu dan yang lainnya, maupun mengucilkan yang berbeda. Ada pula pemaksaan kehendak atas mereka yang dianggap berbeda. Lebih dari sepuluh tahun terakhir berbagai peristiwa kekerasan dan penyingkiran sudah dicatat para
peniliti.
Dalam banyak peristiwa tersebut, pemerintah pusat dan daerah serta aparat penegak hukum sering tampak tidak secara sepenuhnya bisa mengantisipasi dan/atau memberi perlindungan. Tidak sedikit elit politik menggunakan diskursus yang memecah belah dan menggerus nilai keindonesiaan kita.
Kampus dan institusi pendidikan juga tidak banyak bertindak. Masyarakat pun kerap berkontribusi pada rangkaian kekerasan tersebut. Media sosial dipakai untuk menyebar kebencian secara beringas, tidak dimanfaatkan untuk menggali ilmu pengetahuan. Media sosial kehilangan hakekat sosial dan sering menjadi forum permusuhan.
Para antropolog dari sejumlah kota di Indonesia bertukar pikiran dan pekan lalu mencapai kesamaan pandangan. Antropologi mengajarkan, Indonesia yang bineka dan beragam adalah konstruksi sosial. Kekerasan, penyingkiran, pembungkaman adalah ancaman pada keindonesiaan kita.
"Nilai keindonesiaan kita terus digerus. Kami menganggap penting menyatakan darurat keindonesiaan agar semua pihak menyadari bahwa ini bukan soal kecil. Ini soal siapa dan apa kita sebagai Indonesia," kata Prof. Dr. Meutia F. Swasono, antropolog senior.
Salah satu sikap bersama adalah menolak segala bentuk kekerasan dan pemaksaan, penyerangan, serta pembungkaman terhadap kelompok agama, ras, etnis, gender, kepercayaan, keyakinan, kelas sosial, atau sudut pandang yang berbeda. Pada saat bersamaan pemerintah, khususnya Panglima TNI dan Kapolri- diminta menegakkan hukum secara adil dan independen, yang tidak terpengaruh oleh tekanan kelompok tertentu.
Sementara itu, masyarakat diharapkan berpikir kritis agar tidak dimanfaatkan oleh pihak yang menyebarkan intoleransi dan kebencian. Selain itu, Gerakan Antropolog Untuk Indonesia Yang Bineka dan Inklusif menyerukan pula penggunaan media sosial untuk memperluas jalinan persahabatan dan persaudaraan, bukan untuk menyudutkan warga, kelompok, atau golongan lain.
Penyataan sikap dan seruan tersebut semata-mata bertujuan untuk menjaga dan merawat bersama kesatuan Indonesia yang dibangun para perintis bangsa lebih dari 70 tahun lalu. Di tengah tantangan global masa kini dan masa depan, Indonesia harus -dan jelas mampu- bertahan sebagai satu negara
besar dengan kearifan keragaman yang dibanggakan. Maka pernyataan sikap dan seruan Darurat Ke-Indonesia-an dari para antropolog dari seluruh
Indonesia ini memanggil semua anak bangsa untuk bertanggung jawab bersama.[rgu]
KOMENTAR ANDA