Masyarakat Adat di berbagai daerah meminta kehadiran Negara untuk melindungi hak-hak warga negara. Pemerintah juga harus segera turun tangan menghentikan sejumlah perampasan tanah yang menjadi hak Masyarakat Adat.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Roganda Simanjuntak menyampaikan, apapun bentuknya, perampasan hak Masyarakat Adat harus dihentikan karena sangat inskonstitusional. Sebab hak ulayat Masyarakat Adat itu sendiri telah dijamin Negara dalam Undang Undang Dasar 1945.
Menurut Roganda, saat ini Negara dan aparaturnya malah menjadi kaki tangan pemilik modal dan penguasa untuk merampas hak-hak masyarakat. Karena itu, Presiden Jokowi harus melihat ini sebagai persoalan yang urgen yang harus segera ditangani.
"Kami berharap, sangat berharap agar Negara hadir bagi warga negara, agar hadir bagi Masyarakat Adat. Presiden Jokowi tidak boleh membiarkan perampasan demi perampasan tanah rakyat terus terjadi. Jangan rampas hak rakyat, hentikan itu segera,” tutur Roganda kepada redaksi, Jumat (9/12).
Dia menjelaskan, seperti yang terjadi di wilayah Sumatera Utara, khususnya di Kawasan Tobasa, perampasan tanah rakyat oleh PT Toba Pulb Lestari (PT TPL) yang merupakan pergantian nama dari PT Inti Indorayon Utama (PT IIU) masih saja terus terjadi dan sangat terkesan di-back up oleh aparatur pemerintahan itu sendiri.
Selain itu, hak pinjam atas tanah rakyat yang tadinya diperuntukkan bagi percontohan Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) ternyata hendak dilego pula kepada pihak swasta.
"Ini tidak boleh terjadi, harus dihentikan,” ujarnya.
Roganda menambahkan, ada niat yang tidak baik oleh BPTP dibalik permohonan penerbitan sertifikat kepada BPN. Masyarakat Horja Gurgur, dimana lokasi BPPT tadinya dibuat, lahan itu adalah milik masyarakat.
"Ini justru praktek perampasan tanah namanya dengan dalih kebun percobaan. Sedangkan untuk perampasan wilayah adat Tukkonisolu oleh TPL, agar TPL berhenti beraktifitas di tanah adat. Kriminalisasi yang dilakukan oleh TPL dan Polres Tobasa ini merupakan kejadian berulang-ulang. Sebelumnya empat orang Masyarakat Adat Matio juga dikriminaklisasi ketika mempertahankan tanah adatnya dari rampasan TPL,” ujar Roganda.
Sebelumnya, perwakilan Masyarakat Adat Horja Gurgur, Kecamatan Tampahan dan Tukko Nisolu, Kecamatan Habinsaran di Kabupaten Tobasa bersama Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak mendatangi Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara di Medan. Adapun maksud kedatangan Masyarakat Horja Gurgur ke Komisi A yaitu untuk menyampaikan perampasan tanah adat milik Horja Gurgur oleh Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).
Dua kelompok Masyarakat Adat diterima oleh anggota Komisi A Sarma Hutajulu (Ketua), Richard Sidabutar, Fernando Simanjuntak, Putri Daulay, Sampang Malem, Hasaiddin Daulay. Dalam pertemuan tersebut perwakilan Masyarakat Horja Gurgur Mangapul Siahaan menyampaikan bahwa pada tahun 1953 Masyarakat Horja Gurgur menyerahkan tanah adat seluas 55 hektar kepada BPTP untuk dijadikan kebun percontohan.
"Namun kondisinya saat ini terjadi peralihan fungsi dimana pihak BPTP tidak lagi menggunakan sebagai kebun percontohan. Justru oknum pegawai BPTP menggunakannya sebagai lahan pribadi. Ditambah lagi saat ini pihak BPTP sedang mengajukan permohonan penerbitan sertifikat tanah kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN)Tobasa. Oleh karena itu kami menuntut agar tanah adat kami seluas 55 hektar tersebut dikembalikan kepada pemilik yaitu Horja Gurgur,” ungkap Mangapul Siahaan.
Dalam pertemuan itu, perwakilan Masyarakat Adat Tukkonisolu menyampaikan perihal perampasan wilayah adat seluas 760 hektar yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (PT TPL). Bahwa saat ini kondisinya ketika kami bekerja diladang yang kami sendiri yang merupakan titipan leluhur, justru saya diadukan oleh TPL sebagai perambah hutan kepada Polres Tobasa. Ditambah lagi pengaduan mereka kepada Polisi menuduh saya sebagai pembakar hutan di ladang saya. Akibat dari pengaduan TPL tersebut saya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Tobasa. Oleh karena itu kami meminta supaya diperjelas batas antara wilayah adat kami dengan hutan negara,” ujar Dirman Rajagukguk yang juga Raja Huta Tukkonisolu.
Ketua Komisi A DPDR Provinsi Sumatera Utara Sarma Hutajulu menerima pengaduan Masyarakat Horja Gurgur itu, dimana Komisi A akan menindaklanjuti pertemuan ini dengan mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Sarma berjanji akan memanggil pihak-pihak terkait konflik seperti BPTP, BPN, Dinas Pertanian Provinsi, PT TPL, Polres Tobasa, Pemkab Tobasa beserta Masyarakat untuk membicarakan konflik yang sedang terjadi.
"Namun karena pihak BPTP sedang mengurus sertifikat tanah ke BPN, maka saya akan berkomunikasi dengan BPN Tobasa dan BPTP untuk membatalkan penerbitan sertifikat tersebut. Serta mendesak pihak Polres Tobasa untuk menghentikan proses hukum kepada Dirman Rajagukguk,” ujar Sarma.[sfj/rmol]
KOMENTAR ANDA