Peran aparat kepolisian mendapat kritik dalam mengamankan kegiatan peribadatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Jalan Tamansari, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/12), yang berbuntut kericuhan.
Dalam insiden tersebut, jemaat Kristiani yang akan melakukan ibadah KKR mendapat aksi penolakan oleh sekelompok massa yang menamakan diri ormas Pembela Ahlu Sunnah (PAS) dan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) Jabar.
"Aparat kepolisian dan Pemerintah Kota Bandung seolah tunduk dan tidak berdaya terhadap tindakan ormas tersebut," tutur Koordinator Forum Demokrasi Bandung (FDB), Harold Aron, di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Jabar, Rabu (7/12).
Lemahnya pengamanan yang dilakukan aparat, kata dia, berbuntut pada jadwal kegiatan peribadatan yang mesti diakhiri lebih awal. Hal itu, kata dia, terjadi lantaran gangguan yang terus dilakukan pihak ormas.
"Mereka bahkan sampai masuk ke ruangan acara dan meminta tim Paduan suara turun dari panggung. Aparat Kepolisian yang jumlahnya lebih dari seratus orang tampak tidak berdaya di hadapan ormas yang jumlahnya kurang dari lima puluh orang," terangnya.
Dia melanjutkan, kepolisian dan Pemkot seakan-akan melakukan pembiaran terhadap tindakan melanggar hukum dan hak asasi warga untuk melakukan ibadah keagamaan. Para aktivis mempertanyakan kapabilitas dari seluruh elemen aparat negara dalam melindungi warga negaranya,
"Tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan," kata dia seperti dikabarkan RMOL Jabar (grup medanbagus.com).
Para aktivis juga meminta kebebasan warga negara dalam menjalankan peribadatan dijamin dan dilindungi aparat. Mereka juga meminta agar pihak-pihak intoleran ditindak aparat penegak hukum.
"Meminta aparat penegak hukum menindak tegas pelaku intoleransi sesuai peraturan perundangan yang berlaku," demikian Harold Aron.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA