Wakil Presiden RI periode 2009-2014, Boediono mengatakan, dalam perjalanan bangsa Indonesia, APBN kerap menjadi bagian dari masalah, bukan bagian solusi.
Di tahun 1950 hingga 1960 an, APBN mengalami proses yang lepas kendali. Sehingga pemerintahan Orde Baru bertekad agar APBN jangan sampai menjadi penyebab krisis.
Di akhir tahun 60 an hingga sekarang, terbentuk suatu prinsip pandangan dasar bahwa APBN bukanlah penyebab krisis.
"Oleh sebab itu rambu-rambunnya ada. Di zaman Pak Soeharto, namanya konsep anggaran belanja berimbang. Jangan sampai APBN lepas kendali karena godaannya besar sekali," kata Boediono di Seminar Nasional Tantangan Pengelolaan APBN Dari Masa ke Masa, di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Rabu, (30/11).
APBN selalu menjadi tarik menarik kekuatan politik. Begitu pula menjadi seorang menteri keuangan tidaklah mudah karena godaannya sangat besar.
"Karena ini uang, uangnya banyak, apa dan siapa mendapatkan manfaat terbesar," kata Boediono yang pernah menjabat menkeu periode 2001-2004.
Usai krisis moneter yang mendera Indonesia, perjalanan pengaturan APBN menjadi ketat lewat lahirnya banyak UU. Untuk mengikuti standar pengeloaan APBN internasional, Indonesia menjiplak dari negara-negara maju di Eropa.
"2001-2004 baru saja kita sadar diri dari pukulan yang luar biasa, krisis moneter, kita sendiri mengalami dampak yang paling parah dibanding negara lain," lanjutnya.
Boediono menceritakan, di masa itu, tugas pemerintah adalah bagaimana meyakinkan bahwa Indonesia bisa melewati masa beban hutang yang begitu besar, sehingga APBN tetap berjalan dan suistainble.
"Yang paling gampang ya pengeluaran dipotong-potong. Kita mencoba menggenjot penerimaan pajak, beberapa langkah awal, dari kita melakukan reformasi di bidang perpajakan," ulas dia.
Langkah lain menutup kekurangan anggaran dengan menjual aset, karena ketika itu Indonesia hampir tidak mungkin meminjam uang ke luar. Dan akhirnya mulai perlahan kas negara bertambah seriring keputusan pemerintah menyetop kerjasama dengan IMF.
"Itu pun kita berupaya jangan sampai menimbulkan gejolak. Di tahun 2004 kita menyerahkan estafet pemerintahan kepada pemerintahan yang baru dalam kondisi yang lebih baik," demikian Boediono.[hta/rmol]
KOMENTAR ANDA