Undang-Undang Partai Politik (UU Parpol) mengatur hal-hal yang menyangkut tentang fungsi kepartaian seperti membuat program dan penentuan jabatan, itu diatur masing-masing parpol dalam AD/ART.
Dalam kasus pergantian ketua DPR yang dilakukan Partai Golkar, terjadi pengangkangan terhadap AD/ART.
"Makanya AD/ART Parpol itu sebenarnya juga UU karena itu merupakan amanat dari UU Parpol. Makanya AD/ART juga harus dipatuhi sebagaimana halnya UU Parpol itu sendiri. Jadi ketika ada pelanggaran maka tentunya harus ada sanksi kepada pihak yang melanggarnya," kata pakar hukum tata negara, Asep Warlan Yusuf, Senin (28/11).
Pelanggaran aturan parpol menurut Asep ada katergorinya yaitu ringan, sedang dan berat. Tentu sanksi juga yang diberikan akan sangat tergantung pada jenis pelanggaran itu sendiri. Jika pelanggaran itu menguntungkan pihak lain di luar parpol dan justru merugikan parpol, maka sanksi terberat pun bisa dikenakan.
"Kalau untuk pelanggaran AD/ART itu biasanya minimal masuk ke pelanggaran sedang atau berat. Ini sangat tergantung pada motifnya. Kalau ada motif pengkhianatan partai misalnya lebih mementingkan kepentingan partai lain maka ini termasuk pelanggaran berat dan sanksinya bisa dipecat bukan hanya dari jabatannya tapi juga dari keanggotaan partai," tegasnya.
Asep sendiri melihat motif Setya Novanto untuk kembali menjadi ketua DPR lebih karena kepentingan politik dirinya sendiri daripada kepentingan Golkarnya. Makanya Asep menilai sudah tepat kalau dewan pembina memanggil Setya Novanto.
"Pergantian Ade Komarudin itu harus jelas alasan hukum dan politiknya. Masyarakat umum mempertanyakan kenapa Setya Novanto bisa sebegitu leluasannya mengatur-atur lembaga negara seperti DPR ini. Ini citra yang tidak bagus buat Golkar sendiri dan juga buat DPR ke depannya," katanya. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA