post image
KOMENTAR
Lambatnya proses pembangunan sarana dan prasarana kelistrikan yang dilakukan secara nasional, sepertinya tak terlepas dari permasalahan non teknis yang seharusnya bukan menjadi permasalahan krusial.

Salahsatunya terkait fenomena 'perilaku menyimpang' sejumlah institusi Dewan Perwakilan Raktat Daerah (DPRD) di level kabupaten yang cenderung menjadi batu ganjalan dalam mempercepat penyelesaian fasilitas untuk rakyat bayak itu. Ironisnya,gejala itu justru kian semarak dimasa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Alhasil, pembangunan yang sudah diplot secara nasional kembali terganjal akibat ulah disegelintir kalangan dewan dan pengusaha. Dampaknya,  pembangunan yang diamanatkan untuk mempercepat peminimalisiran pemadaman bergilir menjadi terseok-seok.

"Padahal seharusnya golongan yang disetarakan sebagai kelompok menengah tersebut bisa memicu percepatan pembangunan sebab sesungguhnya mereka yang paling dominan jadi pengguna listrik rumah tangga dan industri sesal" Ramdhani, Kepala Divisi Investigasi Masyarakat Peduli Listrik (MPL) kepada wartawan di Jakarta, Minggu (27/11/2016).

Didampingi Muhammad Ridho, Kepala Perwakilan MPL Provinsi Sumatera Utara dan Supendy, Kepala Perwakilan MPL Provinsi Riau dia melanjutkan, saat ini kami analisa posisi DPRD sudah menjadi seperti duri dalam daging terhadap program unggulan Presiden Jokowi.

"Program percepatan pembangunan sarana kelistrikan yang dibajui dengan Peraturan Presiden itu idealnya menjadi tatanan teknis yang harus dipatuhi oleh seluruh lapisan penyelenggara negara baik diskala nasional, provinsi dan kabupaten kota. Bukan malah aturan teknis itu diperdebatkan oleh DPRD apalagi oleh Pemda dan pihak swasta yang diberi fasilitas oleh negara" tegasnya.

Karena, lanjutnya, bagaimana mungkin pembangunan yang sudah disusun secara nasional itu tetapi dari sisi kedaerahan malah bisa dianggap mereka merugikan? Apa iya DPRD lebih memiliki kelengkapan instrumen pengkaji dari pemerintah pusat?, heran Ramdhani.

"Perilaku DPRD seperti ingin 'menghalangi' program itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan regulasi 'kedaerahan', seakan mereka hendak mengatakan bahwa pembangunan nasional itu wajib harus mereka kaji lagi, lagak seorang penguji yang lebih merasa mumpuni" sesalnya.

Ramdhani mencontohkan insiden yang terjadi di Sumut, tepatnya di Kabupaten Simalungun, ketika seorang oknum Wakil Ketua DPRD Simalungun menjadi seperti seorang eksekutor melakukan penghentian pembangunan dijalur transmisi 275 kV Gardu Induk (GI) Galang-Simangkuk. Jalur ini melintasi Simalungun.

"Justru, hanya dengan memakai dalih bahwa tower (TW) nomor 206 terletak di atas lahan milik Pemkab Simalungun maka dengan arogan DPRD menjadi seperti kebakaran jenggot. Seperti DPRD saja pemilik tapak TW itu. Itu tdak rasional, masa institusi yang hidupnya dibiayai oleh uang negara tetapi didalam bersikap menjadi seperti musuh negara?" Cibirnya.

Sesungguhnya, sambung Ramdhani, DPRD itu seperti seolah-olah pro rakyat padahal motif sesungguhnya diduga kuat adalah karena lintasan TW tersebut melewati perumahan mewah di Kabupaten Simalungun. Coba perumahan itu tidak terlintas, mungkin akan lain sikap kerakyatan yang dipertontonkan oleh mereka.

Selain itu kata Ramdhani, di Kota Dumai lebih unik lagi, Ketua DPRD setempat sampai harus membuat surat formal bernomor 005/574/DPRD tanggal 25 November 2026 yang intinya melarang PT PLN (Persero) untuk meneruskan pembangunan TW pada jalur GI Dumai menuju GI Kawasan Industri Dumai.

Mereka menggunakan dalih ada keberatan warga di wilayah Bunga Tanjung, Kelurahan Ratu Sima, Kota Dumai. Apakah itu benar? Ternyata tidak. Sebab terbukti, di kabupaten atau kota lain di Provinsi Riau justru hanya di Dumai yang aneh, timpal Supendy.

"Setelah ditelusuri dengan cermat, peristiwa itu lagi-lagi dikarenakan ada perumahan mewah yang terlintasi jalur TW tersebut. Kami duga, itu menjadi salah satu pemantiknya selain pengkondisian dari seseorang mantan tim sukses wakil Ketua DPRD Kota Dumai saat Pileg 2014 lalu" terangnya.

Masih terkit dengan kasus kelistrikan, lain DPRD lain pula sikap perusahaan termasuk Penanaman Modal Asing (PMA) yang sudah berpuluh tahun menikmati keuntungan dari lahan milik negara berupa Hak Guna Usaha (HGU). Salah satunya PT PP London Sumatra Indonesia Tbk karena di atas sebahagian kecil HGU mereka terlintas jalur transmisi 275kV Galang-GI Binjai.

"Pemilik kebun di Desa Batu Gingging Deliserdang yang 'menyusu' dari perusahaan Indofood itu memberikan reaksi berlebihan layaknya dia pemilik mutlak tanah. Sepertinya lahan itu didapat dengan cara membeli dari pihak swasta, padahal itu tanah negara. Mereka seperti tidak bermoral. Sudah jelas pembangunan TW itu dipercepat namun terlihat nyata malah mengulur waktu dengan dalih yang irasional" kecam Ramdhani.

"Kami menjadi ragu dengan kualitas kepedulian Indofood terhadap lingkungannya karena perusahaan dibawah kontrol mereka berperilaku demikian. Pernah juga perusahaan itu dikritik DPRD Deliserdang karena tidak peduli saat kebunnya akan dilalui tiang PLN untuk mendistribusikan listrik ke desa Naga Timbul" tukasnya.

Karena itu Ramdhani bermohon agar Indofood bisa mencermati perusahaan yang menjadi bagian dari mesin bisnisnya itu. Masa Indofood mau berdiam diri untuk memberikan kebaikan bagi masyarakat? harap pria berambut plontos itu.


"Berbagai kendala di daerah tersebut adalah sekelumit persoalan yang kemudisn membebani kinerja PT PLN (Persero) sehingga mengalami perlambatan pembangunan. Seakan mereka tidak patuh pada perintah Presiden. Akhirnya, masyarakat juga yang akan menderita tetap alami pemadaman" tandasnya.

"Ini menjadi penting untuk kami sampaikan agar pemerintah pusat khususnya Menteri Dalam Negeri bisa cepat menanganinya.
Jangan dibiarkan kelompok yang seharusnya memiliki kepedulian terhadap masyarakat umum tetapi malah mempolitisir persoalan seakan-akan pembangunan itu malah menjadi momok bagi masyarakat" Tutup Ramdhani.[rgu]

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Opini