post image
KOMENTAR
Komisi III DPR ikut memberi rapor merah ke Kejakasan Agung (Kejagung). Komisi III menilai kinerja Kejagung lelet dan tak punya akselerasi pembenahan, terutama menyangkut reformasi di tubuh kejaksaan. Penilaian ini melengkapi rapor merah Kejagung yang sebelumnya disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Pekan lalu, ICW memberikan rapor merah ke Kejagung. Rapor merah itu diberikan karena ICW melihat banyak penyidikan kasus korupsi yang mengkrak, tidak terbukanya informasi, adanya kepentingan politis dalam penanganan kasus, ringannya vonis bagi koruptor, dan adanya jaksa yang menyalahgunakan wewenang.

Anggota Komisi III DPR Muhammad Syafi'i melihat hal yang sama seperti ICW. Makanya, dia pun tak segan ikut memberikan rapor merah kepada Kejagung di bawah pimpinan M Prasetyo.

Menurut politisi Gerindra ini, hampir semua kasus besar yang ditangani Kejaksaan tak jelas kelanjutannya. Apalagi kasus-kasus yang bersinggungan dengan unsur politik.

"Semua kasus-kasus besar apalagi terkait dengan politik, itu tidak ditindaklanjuti, kecuali itu bisa mendatangkan keuntungan bagi kelompoknya," tuding Syafi'i yang disampaikan kepada wartawan di Gedung DPR, kemarin.

Syafii juga menilai kinerja aparat Kejaksaan saat ini sangat mengkhawatirkan. Indikatornya, masih banyaknya personel kejaksaan yang bermasalah dengan hukum. Buktinya, sepanjang 2015, terdapat 77 jaksa yang dijatuhi sanksi karena melakukan pelanggaran. "Di tangan Prasetyo sekarang, banyak aparat kejaksaan bermasalah dengan hukum," cetusnya.

Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu sependapat dengan Syafii dan ICW. Politisi PDIP menilai, kinerja Kejaksaan memang lambat. Di bawah komando Prasetyo, reformasi di internal Kejaksaan tidak berjalan.

"Ya, saya sepakat dengan (rapot merah dari ICW) itu. Delapan puluh persen yang disampaikan itu benar,” cetusnya.

Masinton sangat menyayangkan kondisi ini. Padahal, selama ini Komisi III telah berupaya mendukung penuh kerja Kejagung, terutama dengan peningkatan alokasi anggaran. Ternyata, peningkatan anggaran tersebut tak berbanding lurus dengan kinerja kejaksaan.

"Kami memperjuangkan itu agar tidak ada lagi alasan kurang anggaran. Agar kinerjanya bisa terpacu. Tapi, faktanya ya seperti yang diungkap ICW itu," cetusnya.

Peningkatan anggaran tersebut awalnya diharapkan bisa mencegah kongkalikong penanganan perkara. Faktanya, sejumlah jaksa justru tertangkap menerima suap terkait dengan penanganan perkara. Ironisnya, pengungkapan itu dilakukan instansi lain, yakni KPK, bukan oleh pengawas internal kejaksaan.

Atas dasar ini, Masinton menilai pengawasan internal Kejaksaan pada era Prasetyo sangat lemah. Penegak hukum lain seperti Polri bisa menangkap sendiri oknumnya yang nakal. Saya belum mendengar itu di Kejaksaan. Padahal, laporan masyarakat kan banyak,” katanya.

Masinton juga mengkritik digembar-gemborkan Prasetyo yang mengklaim berhasil pencegahan korupsi melalui Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D). "Kami belum melihat itu hasilnya seperti apa. Jangan terjebak jargon saja," cetusnya.

Atas semua itu, Masinton meminta Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Prasetyo. "Kami di Komisi III sangat berharap temuan-temuan ICW dan masyarakat bisa jadi bahan bagi Presiden untuk mengevaluasi kejaksaan dan pimpinannya," tandasnya.

Prasetyo belum menanggapi rapor dari Komisi III ini. Namun, sebelumnya Prasetyo sudah menyangkal segala penilaian dan rapor merah dari ICW. Menurut Prasetyo, ICW tidak tahu segala yang telah dilakukannya. Dia juga menganggap ICW tidak memahami dinamika penegakan hukum.

Prasetyo pun menegaskan tidak akan terpengaruh dengan rapor merah itu. "Kejaksaan jalan terus, tidak akan terpengaruh dengan penilaian dan pernyataan seperti itu," katanya, Jumat lalu.[rgu/rmol]
 

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Peristiwa