Pelaku usaha listrik swasta tidak heran jika target pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) tidak tercapai pada 2019. Sebab, banyak aturan yang menghambat pengusaha. Sementara, pemerintah minim terobosan untuk mempercepat program tersebut. Kepercayaan investor semakin meredup.
Ketua Harian Asosiasi Pengusaha Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan, seharusnya pemerintah dan PLN cepat melakukan terobosan untuk mempercepat penyelesaian proyek 35 ribu megawatt. Bukannya malah mempersulit pengusaha.
"Gagalnya proyek ini karena kurang terobosan. Kita merasakan perizinan lambat dan financial close tersendat," kata dia, kemarin.
Menurut dia, setiap proyek besar membutuhkan waktu yang lama. Banyaknya proyek listrik yang mangkrak dari pihak swasta bukan disebabkan kemampuan finansial perusahaan melainkan faktor regulasi dan teknis. "Peraturannya saya kira masih berbelit, lalu proses akuisisi lahan yang terhambat," katanya.
Perubahan target proyek dari 35 ribu MW menjadi 19.763 MW, kata dia, akan menimbulkan masalah baru. Karena pemerintah harus mengubah lagi target dalam Rencana Umum Energi Nasional (REUN) dan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
"Nantinya investor merasa nggak punya kepastian dari sisi perencanaan, belum lama ini juga Presiden Jokowi menginginkan pertumbuhan wilayah khusus sentra industri (KEK)," kata dia.
Dia juga menekankan, proyek listrik jangan sekadar menjadi wacana tapi harus dinilai realiastis atau tidak. "Bukan hanya keinginan saja tapi juga menjadi kebutuhan buat negeri ini," tukasnya.
Sekjen APLSI Pria Djan mengaku, sudah lama memprediksi target 35 ribu MW tidak akan tercapai. Menurutnya, proses pengadaan di program 35 ribu MWtak memungkinkan seluruh pembangkit selesai di 2019.
Saat ini, kata dia, sekitar 11 ribu MW pembangkit belum selesai tendernya, 15 ribu MW masih proses Power Purchase Agreement (PPA), dan baru 3 ribu-4 ribu MW yang siap dibangun.
"Kita prediksikan dari progres tender dan PPA sudah di bawah target. Yang proses PPA 15 ribu MW, baru sampai 4 ribu MW yang selesai, nah sisanya masih proses. Jadi memang pasti mundur," katanya.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bahlil Lahadalia memandang, gagalnya target ini karena pemerintah kurang memanfaatkan pelaku usaha bidang kelistrikan nasional. Pemerintah terlalu berharap pada perusahaan asing yang dianggap punya pengalaman banyak untuk membangun pembangkit berskala tinggi.
"Kita bicara kedaulatan energi karena itu dari awal HIPMI mendorong agar kuotanya yang 100 mega, 70 mega diprioritaskan terhadap anak-anak pribumi. Nah selanjutnya yang butuh investasi besar baru dikasih ke luar," katanya. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA