HARI ini tanggal 19 Nopember 2016 direncanakan berlangsung Parade Bhinneka Tunggal Ika di Jakarta.
Acara ini digagas oleh sekelompok orang yang sepertinya menjadi pendukung Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta. Justru inilah yang membuat acara parade ini menarik untuk diulas.
Parade Bhinneka Tunggal Ika ini justru lebih kental kandungan provokatifnya daripada semangat kebhinnekaan yang harus dipupuk dan semangat toleransi yang harus dipelihara. Parade ini seperti ingin menunjukkan sebuah perlawanan kepada aksi umat Islam yang menuntut penegakan hukum atas dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Semoga tidak seperti itu semangatnya dan berharap semangatnya murni tanpa politik. Tapi mungkinkah ini dipisah dari politik melihat para penggagasnya? Secara langsung maupun tidak langsung, parade ini seakan ingin membentuk opini bahwa saat ini ada ancaman terhadap kebhinnekaan, ada kekuatiran terhadap pecahnya kerukunan antar anak bangsa yang beragam agama, suku dan budaya.
Sangat aneh memang jika tuntutan penegakan hukum terhadap penista agama dianggap sebagai ancaman kebhinnekaan. Ini pemikiran tak layak dimunculkan apalagi harus digagas dalam sebuah parade yang justru besar nuansa provikatifnya dan mengipas bara api yang belum padam.
Benarkah ada ancaman terhadap kebinekaan? Coba kita lihat fakta lapangan dengan baik. Adakah kita menemukan ketidaknyamanan penduduk minoritas hidup bermasyarakat di tengah komunitas mayoritas? Adakah minoritas seperti Kristen, Hindu dan Budha dilarang beribadah oleh umat Islam yang mayoritas? Adakah acara-acara keagamaan atau budaya minoritas dilarang dilakukan di tengah publik? Tidak sama sekali. Bahkan budaya Barongsai yang berasal dari China dan bukan budaya asli bangsa ini tidak dilarang dan bebas dilaksanakan kapan saja dimana saja.
Tidak ada ancaman kebinekaan yang sedang terjadi dan tidak akan pernah terjadi di negara ini. Bahkan ketika aksi Bela Islam berlangsung dan ada acara pernikahan di Gereja Katedral, peserta aksi malah membuka jalur untuk iring-iringan pengantin yang jelas minoritas di negara ini.
Ini bukti sahih tidak ada ancaman kebinekaan yang sedang terjadi. Mengaitkan tuntutan penegakan hukum kasus penistaan agama dan aksi Bela Islam dengan ancaman kebhinnekaan adalah pemikiran primitif yang tidak layak ada diera sekarang. Terlalu kuno dan justru bersifat rasis.
Bom di gereja Samarinda juga tidak layak dikaitkan sebagai ancaman terhadap kebinekaan, akan tetapi ancaman terhadap kedaulatan negara karena itu adalah teror yang tujuannya menyerang ideologi bangsa dan bukan menyerang kebinekaan. Ini yang harus dipahami supaya tidak muncul upaya-upaya yang justru menjadi ancaman terhadap kebinekaan. Apapun bentuknya yang cenderung justru akan memanasi situasi harus dihentikan.
Mestinya parade kebhinnekaan itu tidak dilakukan saat suhu politik mati-matian didinginkan oleh Presiden Jokowi. Presiden bersusah payah menurunkan tensi politik dengan melakukan safari politiknya. Sayangnya ada sekelompok orang yang mungkin didasari niat baik tapi justru mengipas bara yang sudah mulai reda.
Parade itu terlanjur dinilai sebagai kontra dari aksi bela Islam. Parade itu terlanjur dijustifikasi opini sebagai paradenya para pendukung Ahok yang meski kebenarannya belum tentu demikian. Tapi opini publik sudah menghakimi.
Sebaiknya semua pihak harusnya bisa lebih bijaksana dan bisa lebih menahan diri. Jangan mengaitkan Ahok dengan ancaman kebhinnekaan. Karena kasus Ahok bukan masalah kebinekaan tapi masalah hukum yang melanggar pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang penistaan agama. Ini yang harus dipahami sehingga jangan ada yang menyeret-nyeret kasus ini kepada masalah kebhinnekaan yang tertanggu.
Presiden mungkin perlu mengingatkan para pihak yang menggagas parade itu karena bertolak belakang dengan upaya presiden mendinginkan suhu politik yang sedang panas. Semoga tidak memanasi.
Jakarta, 19 Nopember 2016
*Analis politik dan energi
KOMENTAR ANDA