Implementasi penegakan hukum kasus penodaan agama kerap kali mengikuti selera tekanan masyarakat dari masa ke masa, termasuk yang membelit Basuki Tjahaja Purnama.
Begitu dikatakan Ketua Lakpesdam NU, Rumadi Ahmad dalam surat elektronik yang dikirimkan ke redaksi, Selasa (15/11).
"Mulai dari zaman dulu hingga sekarang, penegakan hukum terkait penodaan dan penistaan agama itu selalu subyektif dan penegak hukum biasanya mengikuti selera serta tuntutan dari massa yang mempermasalahkan itu," sambungnya.
Rumadi menjelaskan, apabila hendak kembali ke masa lalu sebenarnya kasus penodaan agama pertama kali dilakukan saat buku 'Langit Makin Mendung' karya Ki Pandjikusmin terbit. Dalam karya itu, sangat jelas dan vulgar penodaan agama yang dibungkus karya sastra.
"Untuk menyembunyikan siapa sosok di balik Ki Pandjikusmin, HB. Jassin yang akhirnya dijebloskan ke penjara selama dua tahun oleh pemerintahan saat itu," ujarnya.
Kemudian, kata Dosen UIN Jakarta ini, kasus Lia Aminuddin alias Lia Eden yang ditekan publik karena merasa bersalah dengan tindakan Lia Eden. Sehingga, masyarakat di beberapa tempat mencuat marah dan mempersoalkannya.
"Termasuk kasus Ahok ini, kan karena ada desakan dan tuntutan massa. Sehingga timbul tuntutan penegakan hukum," jelas dia.
Direktur Setara Institute, Ismail Hasani mengatakan, dalam perspektif hak asasi manusia (HAM) tidak dikenal istilah penistaan agama karena muncul di agama-agama monoestik. Menurut dia, konsep HAM itu melindungi manusia dalam kebebasan berpikir dan beragama.
"Penting melindungi keyakinan yang abstrak dengan produk hukum yang konkret. Hate speach (ujar kebencian) juga melindungi HAM, baik atas dasar SARA atau lainnya, aspek identitas dilindungi dan kita dilarang menyebarkan kebencian," ujarnya.
Ismail menjelaskan, pasca reformasi banyak kaum kapital yang mengeksploitasi dan mempolitisasi agama. Bahkan, kasus penodaan agama kerap berhimpitan dengan tekanan massa dan politik. "Rentan ditunggangi oleh orang diluar yang hatinya sakit agamanya dinistakan," jelas dia.
Direktur Imparsial, Al Araf menjelaskan, aksi 25 November memang niatan untuk menggulingkan Presiden Jokowi. Hal itu tidak dibenarkan secara konstitusi. Apalagi, konstitusi sudah mengatur dan prosesnya cukup lama serta rumit dengan melibatkan tiga lembaga seperti DPR, MPR dan MK.
"Penggulingan rezim apa alasan menjatuhkan Presiden? Kan harus punya alasan yang kuat dalam hukum tata negara, sidang MPR dan sebagainya serta ini akan jadi proses yang buruk untuk dinamika demokrasi kita," katanya.
Ia menjelaskan kalau impeachment dilakukan tanpa jalur formal atau konstitusi, jelas akan jadi sesuatu hal yang buruk bagi tradisi demokrasi di Indonesia. Maka dari itu, Al-Araf percaya seluruh elemen bangsa tidak akan melakukan kudeta.
"Siapa yang melakukan kudeta? Kalau bagian banyak negara kudeta massal dilakukan oleh militer seperti di Turki gagal, Thailand berhasil namun sekarang masih harus menata lagi butuh waktu lama, nah kita kalau jalur kudeta pasti ditolak kelompok masyarakat," jelas dia.
Di samping itu, Al-Araf yakin dan percaya kalau TNI/Polri akan tunduk atas perintah panglima tertinggi yakni Presiden Jokowi sehingga tidak mungkin melakukan sesuatu langkah kudeta. Sebab, TNI/Polri juga mendambakan keamanan dan ketentraman bangsa ini. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA