Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana mengungkapkan televisi perlu mengkontrol konten-konten berita live di televisi, terutama pada saat demonstrasi atau kerusuhan terjadi.
Hal ini lantaran dari siaran langsung, dapat memprovokasi massa aksi untuk ikut turun ke jalan. Ia mencontohkan kasus kerusuhan Mbah Priok yang saat itu terjadi bentrokan yang menyebabkan ada korban jiwa. Awalnya kerusuhan Mbah Priok hanya dilakukan ratusan orang massa yang bentrok dengan aparat Satuan Polisi Pamong Praja. Namun tatkala itu, televisi menyiarkannya dengan live dan masif, maka massa lainnya ikut terprovokasi dan terpancing sehingga massa yang terlibat bentrokan meningkat drastis.
"Dampak dari siaran langsung, ribuan orang bisa langsung ikut terprovokasi dan turun ke jalan," ucap Yadi di Dewan Pers, Jakarta, Selasa, (15/11).
Saat demonstrasi 4 November dan kerusuhan di Luar Batang dan Penjaringan, meskipun gambar yang ditayangkan oleh televisi tidak seperti kisruh di kasus Mbah Priok, namun Yadi berpendapat lantaran ada bumbu-bumbu konflik SARA, kalau ditayangkan terus menerus akan memancing emosi masyarakat dari luar Jakarta.
"Nanti daerah-daerah lain bisa meniru. Bakar-bakaran karena terpancing siaran di televisi," kata dia.
Bahkan, dampak dari siaran langsung televisi tentang kerusuhan langsung ke luar Indonesia. Masyarakat luar negeri langsung menstigma Jakarta sedang chaos, atau Indonesia sedang mengalami kerusuhan, padahal keributan atau kerusuhan hanya di sebagian kecil wilayah saja.
Ia mengatakan, memang tidak ada peraturan yang mengatur soal televisi boleh atau tidak menyiarkan gambar secara langsung terkait kerusuhan massa. Namun ia mendorong, agar insan pertelevisian dapat memutuskan suatu gambar tersebut layak atau tidak untuk dikonsumsi oleh khalayak.
"Hati nurani pers dan etika yang memutuskan untuk tidak dipublikasikan. Lihat dampak publik akan berdampak luas jika ditayangkan," himbaunya.
"Jangan sampai kita live, tapi kita melanggar aturan-aturan," kata Yadi menambahkan.
Apalagi mengingat situasi yang sangat panas, seperti pada saat aksi bela Islam 4 November lalu. Informasi-informasi yang beredar di media sosial sangat liar dan bersifat provokatif. Tayangan-tayangan langsung di televisi akan makin membumbui hal tersebut jika tidak dikelola dengan bijak.
Ujungnya, menurut Yadi, media-media jurnalistik akan berujung seperti media sosial jika tidak dikelola dengan bijak berdasarkan "rule" yang ada.
"Itu berefek pada media jurnalistik seperti jadi medsos, jika media mainstream tidak dikelola dengan baik dari 'rule' yang ada," tutupnya. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA