Lewat media sosial, beredar Surat Pernyataan dari Dewan Gereja Persekutuan Wali Gereja Provinsi DKI Jakarta, bertanggal 11 November 2016.
Isi pernyataan dari Dewan Gereja itu adalah agar Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengundurkan diri dari calon Gubernur DKI Jakarta secara ikhlas hati demi persatuan dan kesatuan NKRI, menjaga negara yang berfalsafah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan kerukunan umat.
Jika surat ini benar, tentu perlu diapresiasi setinggi-tingginya substansi keputusan Dewan Gereja itu, yang paham atas makna penting menempatkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa dan kebhinnekaan sejati di atas kepentingan pribadi Ahok, dan juga kepentingan-kepentingan jaringan oligarki bisnis dan politik penopang Ahok.
Dan jika surat ini memang benar, maka sudah sepantasnya para pengusung dan pelestari kebhinnekaan abal-abal, dan sisa-sisa jaringan laskar pendukung oligarki kekuasaan Ahok, baik itu yang bayaran maupun yang non-tarif yang jumlahnya terus saja kempes, agar segera siuman dari pengaruh ajian gendam yang sudah sejak lama dikomat-kamitkan secara khusuk oleh media arus utama, yang ditaburi kemenyan memabukkan oleh lembaga survei yang dipakai Ahok, dalam rangka membentuk citra palsu dan kehebatan-kehebatan palsu tentang sosok Ahok ditengah-tengah masyarakat Jakarta dan nasional.
Jika surat itu memang benar dan sungguh terbit dari rasa kebangsaan sejati yang tinggi, tentu terbuka kemungkinan suara dan tuntutan seperti diaspirasikan Dewan Gereja itu akan diikuti secara bergelombang oleh kelompok-kelompok minoritas lain yang cinta terhadap kelestarian persatuan dan kesatuan bangsa.
Jika nantinya perluasan penerbitan surat semacam ini terus berlangsung secara massif, ditengah perubahan strategi kampanye Ahok lewat cara open house karena dimana-mana selalu diusir dan dicuekin warga, tentu rakyat akan semakin menanti, apakah Ahok akan terus-menerus bertuli-ria atas suara-suara yang terus saja semakin gaduh dan tertuju pada dirinya.
Dan bagi umat Islam Indonesia secara luas dan rakyat pencinta cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, proses penegakkan hukum yang terus berjalan atas kasus penistaan agama yang dituduhkan terhadap Ahok, janganlah sampai berujung melukai rasa keadilan rakyat dan mayoritas umat islam.
Sebab, bukankah mahkamah sejarah senantiasa menyediakan kekayaaan khazanah berupa "yurisprudensi sejarah", tentang bagaimana dasyatnya kekuatan mayoritas rakyat yang dilukai rasa keadilannya untuk merebut kembali rasa keadilan itu. Dan betapa hinanya pihak-pihak yang melukai rasa keadilan masyarakat dihadapan mahkamah sejarah.
Dan jika proses penegakkan hukum kasus penistaan agama oleh Ahok akhirnya benar-benar menjadikan Ahok sebagai tersangka, tentu hal itu akan menjadi laksana musik yang merdu terdengar bagi rasa keadilan masyarakat, ketika kasus-kasus lain yang juga melibatkan Ahok, seperti kasus reklamasi, sumber waras dan lain-lain, juga diproses secara adil penegakkan hukumnya.
Dan akan semakin merdu lagi didengar oleh rakyat ketika Ahok pun ikut "bernyanyi" syahdu yang mampu menyeret nama-nama dalam jaringan oligarki bisnis dan politik penopang kekuasaannya selama ini.
Salam Radikalisasi Pancasila.
*Penulis adalah Analis Sosial-Kerakyatan KIAT 98 dan Pusat Kajian Peradaban Pancasila
KOMENTAR ANDA