Anggota Komosi VIII DPR Dwi Astuti Wulandari mengisi reses dengan melaukan sosialisasi peraturan perundang-undangan terkait perempuan dan anak di Gelanggang Remaja Kecamatan Ciracas, Kelapa Dua Wetan, Jakarta Timur, Sabtu (12/11).
Acara sosilisasi cukup ramai. Dihadari ibu-ibu majlis ta’lim, relawan jumantik, guru-guru PAUD, aktivis Karang Taruna, dan tokoh masyarakat di wilayah Kecamatan Ciracas.
Dalam sosialisasi ini, Dwi menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak masih marak. Dalam Catatan Tahunan 2015 Komnas Perempuan, selama tahun 2014, terjadi 293.220 kasus kekerasan di Indonesia. DKI Jakarta selalu menempati jumlah tertinggi kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
"Komisi Perlindungan Anak Indonesia merilis setiap hari terjadi 13-15 kasus kekerasan terhadap anak. Data pengaduan masyarakat menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dari tahun 2010 sampai dengan 2014 terjadi sebanyak 1.111 kasus," tuturnya.
Maraknya kasus kekerasan seksual, lanjut Wakil Ketua Fraksi Demokrat MPR ini, cukup membuat ngeri semua. Parahnya lagi tindakan kekerasan seksual tersebut disertai aksi pembunuhan.
Kata dia, kasus-kasus itu menimbulkan banyak pertanyaan. Mengapa masyarakat berubah menjadi sadis seperti ini. Bagaimana pelaku tersebut bisa leluasa melakukan aksi bejatnya tanpa diketahui masyarakat maupun aparat.
"Sejumlah pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadikan motivasi bagi kami untuk melaksanakan kegiatan Sosialisasi Peraturan Perundangan Terkait Perempuan dan Anak dalam rangka membangun kesadaran kolektif terhadap isu dan persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sehingga bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat, menyerap aspirasi dari masyarakat dan ahli/pakar sebagai rekomendasi bagi pembuat kebijakan terkait perempuan dan anak di negara ini," jelasnya.
Kata Dwi, saat ini setidaknya tercatat ada 28 peraturan perundangan yang terkait dengan perempuan dan anak. Sayangnya, kekerasan masih saja terus terjadi, malah jumlahnya semakin meningkat.
Menurutnya, hal ini terjadi karena lemahnya penegakan hukum oleh aparat pemerintah. "Bukan persoalan tidak ada payung hukumnya tetapi tidak adanya ketegasan dari aparat penegak hukum. Semoga dengan disahkan Perppu Kebiri dapat membawa perubahan yang signifikan terhadap jumlah kekerasan terhadap anak dan perempuan," ucapnya.
Dalam rangka mewujudkan pencegahan dan perlindungan yang menyeluruh terhadap persoalan-persoalan yang menimpa perempuan dan anak, dia pun meminta ada kesadaran kolektif dari seluruh stake holder untuk membangun kepedulian dan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, media massa.
"Partisipasi masyarakat untuk terbuka melaporkan kejadian-kejadian kekerasan yang menimpa dirinya, keluarganya, kerabat dekatnya akan memudahkan penanggulangan persoalan ini," tandasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Dwi juga mensosialisasikan adanya P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Pemprov DKI Jakarta sebagai rujukan ketika ada kekerasan yang terjadi, selain Kepolisian.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA