Kemenangan sempurna Donald Trump di Pilpres Amerika Serikat mengagetkan dunia. Harga saham di penjuru dunia melorot tajam. Di lini masa, ada yang menyamakan hari kemenangan Trump kemarin dengan tragedi 11 September. Bedanya, jika 11 September (11/9) merupakan hari tragedi, 9 November (9/11) lebih merupakan kengerian. Ngeri menunggu berbagai kebijakan kontroversial Trump.
Kemenangan Trump disambut senyum bahagia pendukungnya yang berkumpul di kawasan Times Square, New York. Sebaliknya, wajah mendung dan raut berduka tampak di wajah para pendukung Hillary yang berkumpul di Jacob K Javits Convention Center, New York saat menyaksikan hasil perhitungan suara yang terpampang di layar.
Mereka seolah tak percaya, Trump yang berkampanye penuh kebencian bisa menang di Amerika yang disebut tanah harapan. Alhasil, aula yang semula akan jadi tempat perayaan kemenangan Hillary mendadak sepi. Tak ada sorak sorai. Tak ada yel-yel. Ditambah tak adanya rencana pidato kekalahan dari Hillary, membuat gedung serupa acara pemakaman.
Sejak awal perhitungan suara yang dilakukan Rabu dinihari waktu AS atau kemarin siang waktu Jakarta, Trump memang selalu memimpin perolehan suara. Kekalahan Hillary di sejumlah swing state krusial, yakni Florida, Iowa, dan North Carolina menjadi petaka bagi Hillary. Kemenangan di negara bagian ini menghapus segala prediksi yang awalnya menguntungkan Hillary.
Pada perhitungan akhir, Trump unggul dengan 276 suara sementara Hillary jauh tertinggal dengan 218 suara. Hasil ini mengantarkan Trump sebagai Presiden AS ke 45. Ada pun istri Bill Clinton itu gagal untuk yang kedua kalinya. Usai perhitungan, Hillary dikabarkan sudah menelpon Trump untuk mengucapkan selamat.
Suasana duka di markas Hillary berbeda dengan suasana di markas Trump, Manhattan, New York. Ribuan pendukung Trump berbahagia merayakan kemenangan. Di sini, mereka menyaksikan Trump, presiden tertua AS, yang kini berusia 70 tahun itu berpidato. Trump tak sendiri. ia didampingi seluruh keluarganya. Mike Pence yang jadi wakilnya ikut mendampingi; juga membawa seluruh keluarganya.
Isi pidato Trump juga mengejutkan. Beda dengan materi kampanyenya yang panas. Di atas mimbar, Trump menyatakan sudah saatnya mengesampingkan semua perbedaan. Dia berjanji akan jadi presiden untuk semua warga Amerika. Tak ada lagi pemilih Hillary atau pemilih Trump. Miliarder ini juga berjanji mewujudkan impian Amerika dengan mempertahankan keamanan, membangun infrastruktur seperti jalan dan jembatan hingga rumah sakit. "Setiap warga Amerika berhak mengembangkan potensinya," ujarnya.
Di akhir pidatonya, Trump mengabsen satu per satu anggota keluarganya. Ia juga memanggil sejumlah senator yang mendukungnya. "Ini adalah malam yang bersejarah, tapi untuk membuatnya jadi bersejarah dibutuhkan kerja keras," katanya, yang disamput tepuk tangan yang menggema. Pidato ditutup dengan lagu The Rolling Stones yang berjudul You Can't Always Get What You Want diputar.
Kemenangan Trump ini memang terasa sempurna. Soalnya, Partai Republik yang menyokong pengusaha tajir ini juga menjadi mayoritas di DPR dan Senat Amerika. Begitu juga di pemilihan gubernur, Republik menang telak. Hingga pukul 11 malam tadi, Republik berhasil meraih 238 kursi DPR AS, sementara Partai Demokrat yang menyokong Hillary hanya meraih 193.
Di Senat, Republik unggul tipis dengan meraih 51 kursi, dengan Demokrat kebagian 47. Di pemilihan gubernur, Republik jauh meninggalkan Demokrat dengan perolehan kursi 33 berbanding 15.
Dunia menanggapi kemenangan Trump dengan perasaan campur aduk. Ada yang senang, tapi tak sedikit yang mengungkapkan kekecewaannya. Rusia tentu yang paling senang dengan kemenangan Trump. Dari awal Presiden Rusia Vladimir Putin memang mendukung Trump. Ia juga presiden yang pertama memberikan selamat.
Norbert Roettgen, pejabat tinggi partai berkuasa di Jerman beda lagi suaranya. Dia bilang, kemenangan Trump akan membuat situasi geopolitik tidak menentu. Duta besar Prancis untuk AS Gerard Araud lebih keras lagi bahasanya. "Dunia sedang terbalik," katanya. "Ini akhir sebuah zaman, yaitu neoliberalisme. Zaman yang akan menggantikannya belum diketahui," kata Araud lewat akun Twitternya. Cuitannya ini kemudian dihapus.
Sebaliknya China menyampaikan kemenangan Trump sebagai tanda demokrasi Amerika sedang krisis, yang berbeda dengan China yang stabil di bawah rezim otoriter.
Di lini masa, kemenangan Trump ini membuat gaduh. Tanggal pengumuman kemenangan Trump tak dilewatkan para pegiat dunia maya. Banyak yang menyamakan hasil Pilpres AS dengan hari paling tragis dalam sejarah AS, yakni 11/9 atau 9 September 2001. Yaitu runtuhnya menara kembar World Trade Center, New York, dalam serangan teroris.
Sebagian tweeps menyebut 9/11 adalah mimpi terburuk Amerika, lebih buruk dari kematian 3 ribu warga pada 11/9. "9/11 never forget, 11/9 always regret," tulis @_undeadtyrell. "9 /11 is more of a disaster than 11/9," ujar @rodriguez.
"Two days American history will never get over: 9/11 11/9," @SohaTazz. Ada juga yang berkicau 9/11 adalah runtuhnya ekonomi global, tapi 11/9 adalah hancurnya keuangan kami.
Di keuangan global memang yang paling terkena imbas dari kemenangan Trump. Kepanikan terjadi. Investor yang semula menduga Hillary Clinton akan lolos, berbalik arah. Pasar saham di Eropa berjatuhan. Pasar Asia yang laing berduka. Indeks Hang Seng, Hongkong, merosot begitu juga Korea Selatan dan Jepang. Indeks di Australia dan Selandia Baru turut jatuh dalam poin yang tidak jauh berbeda dari kondisi di negara lainnya.
Kenapa Trump bisa menang? Pengamat Internasional dari Universitas Padjajaran DR Teuku Rezasyah bilang memang agak pelik menjelaskan kemenangan Trump. Karena di luar perkiraan. Masyarakat menduga Hillary yang menang dengan selisih 2-4 persen.
Kenapa bisa menang? Pertama kemampuan komunikasi Trump luar bisa. Kedua, Trump sudah berinvestasi lama lewat film Apprentice. Yaitu ajang di mana Trump mencari manajer, menempatkannya di perusahaan, dengan gaji tinggi. Acara ini menjadi idaman orang Amerika.
Tak kalah penting, Trump bisa merangkul orang IT yang jempolan. Sehingga bisa menggaet para pemilih pemula yang gila gadget. Trump juga tidak takut membongkar pusat kekuatan lawan. Dia berani kampanye di kantong-kantong Demokrat dengan bahasa lugas, tanpa basa -basi. Dia tahu masalah, penyebab masalahnya yaitu presiden Obama yang tak tegas, dan menawarkan solusinya. Bagaimana hubungan dengan Indonesia? Reza bilang jangan terlalu khawatir. Ini tantangan bagi diplomat Tanah Air. "Trump tentunya tidak akan sefrontal dengan materi kampanyenya," pungkasnya.
Materi kampanye Trump yang frontal antara lain melarang muslim masuk Amerika dan membuat tembok di perbatasan dengan Meksiko untuk mencegah masuknya imigran ilegal. ***
KOMENTAR ANDA