post image
KOMENTAR
Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Irjen Rycko Amelza Dahniel dituntut harus bersikap tegas terhadap penyidik Satreskrim Polres Asahan, terkait kasus  dugaan penyerobotan tanah milik Padang Sitanggang, kakek berusia 92 tahun dan indikasi terjadinya pemalsuan dokumen alas hak lahan milik korban.

Karena, meski kakek renta tersebut sudah membuat laporan resmi ke Polres Asdahan sejak tanggal 11 Juli 2016 lalu, sesuai dengan surat tanda bukti lapor nomor: STBL/455/VII/2016/ASH atas laporan polisi nomor: LP/518/VII/2016/SU/Res Ash, tanggal 11 Juli 2016, dan disusul dengan keluarnya surat perintah penyidikan dengan nomor: SP-SIDIK/433/VII/2016/RESKRIM, namun kasus tersebut malah terkesan sengaja diabaikan.

Hal tersebut ditegaskan Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universtas Sumatera Utara (USU), Dr. OK Saidin SH kepada wartawan. Menurutnya, Poldasu harus melihat kinerja dari para penyidik baik di polres, polsek, maupun polda terhadap banyaknya ketimpangan yang dilakukan penyidik dalam menyikapi sesuatu kasus, sehingga dianggap kurang cermat bahkan terkesan melindungi pihak tertentu.

Dalam kasus ini, Saidin melihat perlu adanya ketegasan dalam pengungkapan kasus tanah yang terletak di Pasar 6, Dusun IV Kuala Sei Lebah, kecamatan Sei Kepayang Induk, Kabupaten Asahan.

“Penyerobotan tanah bukanlah suatu hal yang baru dan terjadi di Indonesia. penyerobotan sendiri dapat diartikan dengan perbuatan mengambil hak atau harta dengan sewenang-wenang atau dengan tidak mengindahkan hukum dan aturan, seperti menempati tanah atau rumah orang lain, yang bukan merupakan haknya. Tindakan penyerobotan tanah secara tidak sah merupakan perbuatan yang melawan hukum, yang dapat digolongkan sebagai suatu tindak pidana” tegas OK Saidin, Selasa (8/11).

Ironisnya, dalam kasus ini, laporan yang terkategori mudah diungkap itu telah menyajikan banyak saksi, alat bukti dan ada pihak dari aparat negara yang bisa dimintakan keteranganya terkait objek tanah, justru harus memakan waktu panjang untuk mengungkapnya.

“Apalagi pelapor sudah mengelola tanah yang diserobot itu sejak 1964 dan dia membawa alat bukti surat-surat yang dikeluarkan instansi yang berwenang tahun 1996. Didalam perjalanan penyidikan, si penyidik sudah memegang surat yang katanya dimiliki terlapor yang dikeluarkan sekitar tahun 2015 oleh aparat desa,” ujar OK Saidin menyesalkan.

Semestinya dengan bukti yang dimilikan, lanjut Saidin, pelapor sebagai pemegang surat merupakan pihak yang berhak dalam mengelola ataupun menggunakan tanah tersebut.

“Dengan tidak terungkapnya kasus tersebut, pihak kepolisian dianggap tidak mampu dan harus menjadi perhatian khusus polda sumut. Bahkan bukan rahasia lagi jika tanah yang berstatus segel bahkan sertifikat sekalipun bisa diklaim oleh orang lain” pungkasnya.

Sebelumnya, Iwan Darmawan dari kantor Consultan Alternative Dispute Resolution and Settlement Agreement meminta agar Kapoldasu lebih menitik-beratkan pengawasan terhadap kualitas para penyidiknya di lingkungan Polda, Polres bahkan sampai ke Polsek agar keadilan bisa dirasa masyarakat.

Kata Irwan, kondisi penyidikan yang sedemikian dangkal, membuat dirinya memberikan perhatian yang lebih dari biasa. Laporan yang terkategori mudah diungkap itu telah menyajikan banyak saksi, alat bukti dan ada pihak dari aparat negara yang bisa dimintakan keteranganya terkait objek tanah.

"Jadi sebenarnya tidak memerlukan waktu yang panjang untuk mengungkapnya jika penyidik kepolisian serius. Apalagi kasus laporan masyarakat yang seperti itu jamak ditemukan diberbagai tingkatan kepolisian di Indonesia, itu masuk kategori kasus yang biasa ditangani lho," ungkapnya.[rgu]

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini