Asing bagi pemuda dalam perjalanan ke depan sebagai pengisi kemerdekaan republik ini sering tidak mendapatkan tempat yang baik. Ketimbang berbicara persoalan kebangsaan, pemuda saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akan posisi sebagai warga negara. Program deradikalisasi yang termasyur sebagai langkah pemerintah menekan terorisme pun dianggap sebagai point penting menyelamatkan pemuda. Padahal, pemuda sendiri dalam tatanan sebagai pewaris negara ini kedepan haruslah radikal dalam memaknai negara sebagai rumah yang harus selalu dibersihkan dari antek-antek yang bernama “Globalisasi”.
Dibutuhkan penilaian yang fair tentang radikal di republik ini. Artikel berjudul Penduduk Indonesia dari portal www.indonesia-investment.com menyebutkan, "Indonesia kini dihadapkan pada kelompok usia di bawah tiga puluh tahun yang cukup besar (sekitar setengah dari populasi, sekitar 125 juta penduduk Indonesia)".
Apakah ini akan menjadi bonus demografi (democgraphic opportunity) ataukah menjadi sebuah bencana? Sudah barang tentu, perjalanan ke depannya akan menjadi bonus apabila pemerintah hari ini fokus dalam menggagas sebuah konsep yang tidak hanya sekedar sebuah angin surga dalam menempatkan pemuda sebagai agent of change. Jika akan terus melanjutkan proyek ambisius “Deradikalisasi” itu, maka sudah pasti pemuda saat ini adalah bencana.
Memaknai sumpah pemuda sebagai tonggak utama sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan ikrar dan semangat yang meneguhkan bahwa “bertanah air satu, Tanah Air Indonsesia; berbangsa satu, Bangsa Indonesia; berbahasa satu, Bahasa Indonesia” seperti tak terdengar di telinga kita lagi. Sikap pesimis pemuda hari ini terlihat dari semakin tingginya gaya hedonisme pemuda. Bukan berarti ini adalah kesalahan dari kaum muda tersebut. Potensi deradikalisasilah yang menjadi muara dari segala akibat tersebut. Indonesia terus dihadapkan sebagai etalase dan pemerintah sebagai event organizer produk serta budaya asing.
Hedonisme ini akan menjadi budaya baru bagi Indonesia jika pemerintah tidak protektif atau terus membuka kran impor. Sangat dibutuhkan sebuah kebijakan yang sangat-sangat pro rakyat, sehingga nantinya pemuda sebagai pewaris Republik ini akan terus menjaga kedaulatan bangsa dengan semangat sumpah pemuda seperti di tahun 1928.
Kerja... Kerja... Kerja...
Memaknai jargon Presiden Republik Indonesia, Ir. H Joko Widodo adalah sebuah isyarat penuh makna. Tak dinafikan lagi bahwa pemuda hari ini masih sibuk memaknai kemerdekaan sebagai etalase yang kita sebut “Liberalisme”. Sering terdengar ungkapan bahwa untuk menghancurkan Indonesia tidak dengan mengirimkan tank-tank baja dan juga peluru dari peralatan tempur yang modern. Cukup dengan memberikan mereka Narkoba dan seks bebas, maka hancurlah Indonesia 10- 15 tahun ke depan. Terbukti, hari ini tingginya tingkat kejahatan dan merebaknya kasus narkoba adalah sebuah alarm bagi Presiden agar jargon kerja... Kerja... kerja... yang selalu beliau tegaskan dalam setiap kesempatan harus benar-benar dilaksanakan oleh beliau terlebih dahulu.
Jargon tersebut juga tak hanya berlaku untuk memberantas pungli-pungli kecil dengan langsung membuat satuan-satuan kerja. Jika boleh, meminjam intonasi bang Rhoma Irama dalam menyebut kata "Terlalu" untuk kerja pemerintah hari ini amatlah tepat. Pemerintah sering abai pada persoalan-persoalan substantif yang ada di republik ini. Permerintah hari ini sepertinya hanya mengurusi tetek bengek yang skala kota atau provinsi, bukan persoalan kebangsaan yang semakin pelik. Konsepsi membangun sebuah peradaban sangat dibutuhkan hari ini agar 125 juta pemuda, mampu mewujudkan Indonesia Emas di 2045 mendatang. Era Globalisasi dan MEA menuntut pemuda agar mampu bersaing dengan asing, tetapi malah dihadapkan pada minimnya peran pemerintah dalam berkontribusi aktif memberikan pendidikan serta wadah mengadu gagasan-gagasan penting untuk republik ini.
Persoalan negeri ini tak surut jika pemerintah terus menyiram dan memupuknya dengan kealfaan. Persoalan negeri ini akan terus bertambah jika Presiden tanpa ketegasan mencabut seluruh akar-akar yang tak menjadi rahasia publik lagi ada pada persoalan hukum yang tajam kebawah tumpul ke atas dan persoalan keadilan (ekonomi). Bagaimana nasib 125 juta pemuda yang hari ini menanti warisan bernama “Republik Indonesia”? Tidak cukup hanya membuat UU pemuda untuk menyerahkan obor estafet kepemimpinan, harus ada kebijakan yang benar-benar membawa Indonesia kepada penyelesaian persoalan.***
Faisal Fariz, Pemuda Desa Ledong Timur, Asahan. Ketua DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sumatera Utara.
KOMENTAR ANDA