post image
KOMENTAR
Bisa jadi, baru kali ini ada sidang pembunuhan yang membawa-bawa "kondisi sel penjara" dan "bentuk wajah" sebagai argumentasi di pengadilan. Namun inilah salah satu gambaran sidang kasus pembunuhan Mirna Wayan Salihin. Kemarin, sidang sudah memasuki pembacaan duplik dan tinggal menunggu putusan hakim, 26 Oktober nanti. Pertanyaan yang tersisa, siapa yang lebay dalam sidang ini, jaksa atau Jessica. Sidang pembacaan duplik itu dibuka Ketua Majelis Hakim Kisworo kemarin, pukul 2 siang. Wajah Jessica tampak lebih segar. Rambutnya digerai. Dengan "seragam" yang biasa dikenakannya; kemeja putih dan celana hitam, Jessica kembali berdiri, membacakan duplik.

Jam tangan melingkari tangan kirinya, sementara tangan kanannya dilingkari gelang emas. Bedanya, kali ini dia tanpa kacamata.

Dalam duplik yang juga ditulis tangan seperti pledoi, Jessica pertama kali menyinggung replik alias tanggapan jaksa soal sel yang dihuninya. Kali ini Jessica lebih tegar dan pede. Suaranya lebih lantang, tidak terdengar isak tangis.

Mulailah dia bercerita, sel tikus atau yang disingkatnya sebagai selti, biasanya digunakan sebagai sel isolasi. Yang ditaruh di situ, adalah tahanan yang melakukan pelanggaran, serta tersangka kasus pembunuhan yang baru ditangkap.

Saat Jessica masuk ke sel itu, "tetangganya" adalah tersangka pembunuhan anak kecil, pembunuhan orang dewasa, serta kasus mutilasi. "Mereka hanya beberapa minggu di selti sebelum ke sel biasa, tidak 4 bulan seperti saya," keluhnya.

Dia menampik pernyataan jaksa yang menyebut dirinyalah yang menghendaki berada dalam selti itu. Jessica juga menyatakan, foto ruangan yang ditunjukkan jaksa adalah ruang serbaguna yang biasa digunakan untuk kegiatan kerohanian dan konseling.

"Saya tidak menyangka kalau akan digunakan di persidangan untuk menyudutkan saya. Dan semua orang menuduh saya pembohong. Alangkah keji," tegasnya.

Yang dipaparkan Jessica berikutnya adalah soal kepribadiannya yang terus diserang jaksa. "Bahkan jaksa menghadirkan saksi ahli untuk menilai saya seorang pembunuh dari bentuk wajah saya," protesnya.

Jessica merasa selalu salah di depan JPU. "Pada saat saya tenang dan tidak berekspresi saya disebut pembunuh berdarah dingin. Pada saat saya berekspresi dengan tersenyum, atau menangis, itu pun dipermasalahkan," tuturnya. Saat mengucapkan itu, suaranya mulai bergetar.

Dan isak tangis kecil mulai terdengar saat dia melanjutkan pembacaan dupliknya. Isak tangisnya semakin keras saat dia menyinggung sindiran jaksa yang menyebutnya tidak mensyukuri nasibnya.

"Dan yang menyedihkan lagi, kenyataan kalau saya masih bernafas pun menjadi hal yang dicemooh penuntut umum, lalu saya harus bagaimana? Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Kalau saya boleh memilih, saya memilih untuk tidak difitnah," ujarnya, seperti berkelakar tapi dengan isak tangis yang cukup keras.

Dia meminta JPU yang digawangi Jaksa Ardito untuk tidak lagi menggunakan pernyataan itu. "Ini sangat kejam," ujarnya dengan suara bergetar. "Tuhan tidak tidur untuk penderitaan yang saya alami," imbuhnya, mencoba menghibur diri. Sejak awal kasus ini bergulir, Jessica merasa optimis akan bebas. Sebab, selain bersikukuh tak melakukan pembunuhan Mirna, tak ada juga bukti substansial yang menunjukkan Jessica menaruh racun di kopi mirna.

Tetapi, mendekati akhir persidangan, Jessica mulai ragu. Keraguannya muncul karena melihat tayangan wawancara tantenya Mirna yang mengaku telah menghamburkan uang unyuk persidangan ini. "Dihamburkan ke mana, dan pada siapa? Apakah itu untuk mempengaruhi persidangan ini?"

Jessica juga takut melihat kedekatan JPU dengan keluarga Mirna yang beberapa kali diperlihatkan di pengadilan. Dia takut keputusan atau semua tindakan yang berhubungan dengan kasusnya terpengaruh oleh kedekatan itu.

Jessica pun meminta Presiden Jokowi untuk menaruh perhatian dalam kasus yang menjeratnya. "Tolong bapak Presiden cegah, jangan sampai ada pihak-pihak yang mengintervensi peradilan ini. Saya tak pernah menaruh racun di gelas kopi seperti yang dituduhkan kepada saya," pintanya.

Kalau ada fakta persidangan yang membuktikan kalau saya adalah seorang pembunuh, Jessica mengaku rela dihukum seberat-beratnya.

"Saya akan tetap berjuang samapai titik darah terakhir untuk keadilan dan kebebasan saya," imbuh Jessica.

Jessica mengakhiri duplik setebal 6 halaman itu dengan memberi dua informasi. Pertama, dia sebetulnya tidak setuju dengan tindakan suami Mirna, Arief dan Hani yang langsung membawa Mirna ke RS Abdi Waluyo tanpa memberikan kesempatan kepada dokter di klinik untuk melakukan pertolongan pertama.

Padahal dokter Andri Yoshua yang bertugas pada saat itu di klinik mengatakan jantung Mirna bagus, stabil, dan suhu badan hangat. Tapi dokter tak sempat memberi pertolongan karena Arif langsung membawa Mirna ke RS dengan mobil pribadi, bukan ambulans tanpa didampingi tim medis.

Setelah mengungkapkan hal itu, Jessica memgakhiri dupliknya yang dibacakan selama 13 menit. Tak jauh beda dengan pledoinya.

Setelah itu, giliran kuasa hukumnya. Kali ini, Hidayat Bostam yang duluan. Dia membacakan transkrip percakapan dirinya dengan Amir, seperti yang diungkapkan Jessica. Kemudian disusul Otto Hasibuan, dan kuasa hukum lainnya, bergiliran. Pukul 21.30 WIB, pembacaan duplik tim kuasa hukum Jessica baru selesai.[rgu/rmol]

Kuasa Hukum BKM: Tak Mendengar Saran Pemerintah, Yayasan SDI Al Hidayah Malah Memasang Spanduk Penerimaan Siswa Baru

Sebelumnya

Remaja Masjid Al Hidayah: Yayasan Provokasi Warga!

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Hukum