SECARA ideologi dan logika politik Ahok harusnya selesai dengan kasus Al Maidah 51. Warga Jakarta yang 85 persen Islam (di setiap survei), rata-rata 25 persen menolak pemimpin non-muslim.
Pernyataan Ahok tentang Surat Al Maidah, telah berekses dan sesungguhnya Ahok sudah memperoleh kartu merah dalam kompetisi Pilkada DKI 2017. Terkesan ada perlindungan hukum pada yang bersangkutan (Ingat kasus Arswendo Atmowiloto).
Secara faktual pun elektabilitas Ahok saat ini mencapai 30 persen, angka terendah bagi petahana (jika pendukungnya menganggap Ahok berhasil). Dengan fatwa MUI dan demo besar-besaran Umat Islam baik di DKI Jakarta maupun sebagian besar Nusantara, secara moral harusnya Ahok mundur, karena dia mengakui kesalahannya.
Jika separuh saja umat Islam DKI (42,5%) Anti Ahok, dan beberapa segmen Anti Ahok seperti etnis Betawi (25%), purnawirawan TNI, Forum RT/RW di atas kertas Ahok selesai sebagai petarung Pilkada DKI 2017. Ekses dari Kasus Al Maidah 51, terus bergulir bak bola salju Semangat Anti Ahok.
Seyogyanya dengan menghujat Al Maidah 51, ibaratnya Ahok memukul sarang tawon, dia akan sibuk melindungi dirinya dari kejaran tawon. Walau pertarungan akan 2 putaran, pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Sandi pasti akan bersatu di putaran kedua melawan Ahok.
Ancaman konflik sosial, bagi bangsa Indonesia potensi rusuh (jika Ahok lolos dari sangkaan pidana). Ahok terlalu mahal harganya jika dibela dan perilakunya terlalu menggugah tahap rasa”, bukan lagi sekadar logika.
Bangsa Indonesia dengan Pancasila, harmonis selama ini mengenai perbedaan SARA saat ini menjadi disharmonis. Bangsa Indonesia berorientasi pada hal-hal positif menjadi saling mendiskreditkan. Mulai subur perbedaan pandangan mengenai suku, agama, dan ras, serta antar golongan, terkesan terjadi disorientasi kehidupan berbangsa.
Sungguh ini ancaman kohesi sosial. Pertanyaannya, apakah Joko Widodo sebagai Presiden menyadari dampak degradasi terhadap dirinya sebagai Kepala Negara? Public trust (umat Islam) adalah soko guru dukungan politik. Jika diabaikan pasti akan bermasalah dukungan terhadap dirinya, baik menghadapi defisit APBN (krisis likuiditas 2017), maupun Pilpres 2019.
Sebenarnya hanya rekasaya negatif yang akan dapat memenangkan Ahok, misalnya membatalkan dukungan PPP Rommy oleh Menkum HAM. Namun pembelaan politik apapun akan berisiko bagi pemerintahan Joko Widodo, bahkan bisa saja ancaman bagi Bangsa Indonesia.
Saat ini Ahok adalah beban politik” bagi Joko Widodo, bukan lagi aset. Jika terlalu lebay” dilindungi, Ahok akan menjadi proses carut marutnya politik, di saat ekonomi terpuruk.
Belum terlambat bagi Joko Widodo untuk keluar dari sanderaan Ahok secara politis, jika ingin terpilih lagi di tahun 2019. Secara ideologis posisi politik Joko Widodo di mata relawan yang tidak terserap tawaran birokrasi” (kooptasi) melihat Joko Widodo status quo. Sangat tipis sudah antara Cabut Mandat, dan untuk terus mendukung, karena persoalan Ahok masuk wilayah rasa” dan sangat ideologis dalam konteks nasionalisme dan politik kebangsaan.[***]
Saya menulis karena rasa tersentuh
*Timses Nasional Jokowi-JK
KOMENTAR ANDA