post image
KOMENTAR
Merasa indepedensinya diusik, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggugat UUNo 10 Tahun 2016 tentang Pemi­lihan Kepala Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK). Aturan yang digugat yakni Pasal 9 huruf a UU Pilkada yang mengharuskan KPU berkonsultasi dulu dengan DPR dan pemerintah dalam membuat peraturan KPU (PKPU).

"Pasal ini tentunya bertentangandengan agenda reformasi terbentuknya lembaga penye­lenggara pemilu yang mandiri. Karenanya kami mengajukan judicial review ke MK," ujar komisioner KPU Ida Budhiarti saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.

KPU menganggap, forum konsultasi yang diatur dalam UU Pilkada dapat membuka ruang pengaturan yang memihak dan tidak sesuai prinsip Pemilu Luber dan Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil). "Forum konsultasi pada pihak ini akan menimbulkan konflik kepentingan," ujar Ida.

Lantas apa yang diinginkan KPU terkait aturan yang ada da­lam Pasal 9 huruf a di UU Pilkada tersebut? Berikut penuturan Ida Budhiarti :

Sebenarnya apa yang salah dengan pasal tersebut seh­ingga harus digugat?

Karena ketentuan konsultasi dan keputusan yang mengikat dalam rapat konsultasi, kami anggap mengganggu kemandi­rian atau independensi KPU. Sebagai lembaga penyeleng­gara pemilu, KPU memiliki sifat nasional, tetap, dan mandiri. Aturan tentang kemandirian KPU ini tercantum dalam Pasal 22 huruf e ayat 5 UUD 1945.

Menurut kami, makna mandiri dalam peraturan itu adalah kebe­basan dari intervensi kekuasan baik pemerintah maupun pihak mana pun dalam mengambil keputusan.

Bukankah dalam bekerja, KPU bermitra dengan pemer­intah dan DPR?

Sifat mandiri ini penting su­paya tidak akan terjadi konflik kepentingan nantinya. Sebagai lembaga independen, KPU har­usnya memiliki otoritas penuh yang tidak dapat diintervensi lembaga lain, termasuk DPR maupun pemerintah.

Sementara aturan yang termuat dalam Pasal 9 huruf a secara po­tensial dianggap meruntuhkan independensi KPU. Selain itu aturan dalam pasal tersebut juga memusatkan keterlibatan DPR dalam menentukan kewenangan KPU saat menyusun dan menetapkan peraturan. Kami melihat banyak kepentingan yang me­maksa KPU agar menindaklan­juti aturannya saat RDP.

Selama ini KPU merasa ada pemaksaan kehendak dari DPR atau pemerintah?

Pernah. Contohnya adalah soalaturan cuti kampanye bagi petahana. DPR menghendaki kalau petahana wajib menya­takan kesanggupan cuti, sejak statusnya jadi bakal calon kepala daerah. Kalau tidak mau, maka calon petahana itu harus diang­gap tidak memenuhi syarat. Tapi, kami menolak usulan itu.

Kenapa?

Sebab, dalam aturan kampanye,petahana yang sudah ditetapkan jadi calon kepala daerah lah yang wajib cuti. Subjek hukum dalam aturan itu hanya mengikat pada petahana yang su­dah ditetapkan sebagai pasangancalon kepala daerah. Kalau kami memasukkan ketentuan itu dalam Praturan KPU (PKPU), kami menanggung risiko huku­mnya. Karena KPU tidak bisa menghukum orang yang bukan subjek hukumnya. Kami bilang ke DPR, kalau mau seperti itu se­harusnya ketentuannya masukan saja di aturan tentang pasangan calon. Tapi terjadi debat panjang sampai akhirnya diketok palu, dan KPU harus mengikuti.

Apa ada pemaksaan yang lain?
Ada contoh lain, yaitu ketika membahas tentang terpidana boleh maju sebagai pasangan calon. DPR ingin terpidana hukuman percobaan boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah.Sementara kami tidak setuju, karena yakin akan menimbulkan sengketa.

Pasalnya, kami menilai hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Akan tetapi, KPU tetap harus menyusun Peraturan KPU (PKPU) lantaran hal tersebut sudah disepakati pemerintah dan DPR.

Tapi konsultasi itu kan juga bentuk pengawasan DPR ter­hadap KPU?

Kami paham. Kami juga tidak alergi diawasi oleh DPR kok. Kami mau diawasi. Hanya sa­ja jangan dipaksa seperti itu. Dalam hemat kami, pengawasan bisa tetap dilakukan dengan cara memberikan masukan dan penda­pat. DPR dan pihak lain silakan berpendapat, dan memberikan masukan. Tapi kembalikan lagi penetapannya kepada KPU. Biarkan KPU yang memperbaiki. Dari kerangka hukumnya kah, dari aspek menajemennya kah.

Kalau aturan yang dibuat KPU salah bagaimana?

Ya silakan digugat. KPU akan menanggung konsekuensi hu­kumnya. Kerangka pilkada itu sendiri memungkinkan stake­holder, dan masyarakat yang memiliki hak pilih untuk menun­tut akuntabilitas penyelenggara pemilu. Melalui gugatan admin­istrasi misalnya. Kemudian ada gugatan untuk masalah sengketa pemilihan, ada gugatan pelang­garan kode etik penyelenggara dan sebagainya.

Apa yang diharapkan KPU dari judicial review tersebut?

Kami inginnya supaya MK membatalkan aturan tersebut. Jadi tidak cuma mengganti frasanya. Kami memahami DPR yang ingin melakukan penga­wasan. Tapi kami juga meng­inginkan supaya DPR konsisten menjaga kemandirian KPU.

Kalau aturan itu dihapus, lantas seperti apa DPR meng­oreksinya nanti?
Tetap ada rapat dengar penda­pat dengan DPR seperti yang ada selama ini. Tetapi DPR hanya memberikan saran dan masukan saja. Biarkan konsul­tasi itu berangkat dari kebutu­han KPU.[rgu/rmol]

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa